Foto cover: Bina Iman Anak sebelum Pandemi Covid-19 di sebuah paroki (poto oleh Santy)

Artikel ini merupakan Bagian kedua dari perbincangan via Zoom Komisi Komsos bersama Ketua Komisi Penidikan KEBAN dan Majelis Pendidikan Katolik, RP. FX. Adisusanto,SJ pada tanggal 24 April 2021 dan sangat relevan dengan situasi saat ini.

Menurut Romo Adi, siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan agama Katolik anak?

Menurut saya dan ajaran Gereja yang bertanggung jawab atas pendidikan agama pertama-tama adalah orang tua. Mereka pendidik pertama dan utama dalam kehidupan beriman anak-anak mereka. Sedangkan guru, sekolah, pastor bahkan katekis adalah membantu orang tua dalam pendidikan iman anak-anak, bukan mengambil oper tugas orang tua.

Pendidikan agama dimulai di rumah oleh orang tua. Kalau anak sudah mulai masuk ke sekolah, karena orang perlu memperoleh bantuan, disitu masuk peran guru agama atau katekis. Dalam pendidikan agama Katolik di sekolah, baik Gereja maupun Pemerintah secara nasional mempercayakan dan menyerahkan pengelolaannya kepada Komisi Kateketik KWI. Komisi ini tidak hanya bertugas menyusun kurikulum dan bahan pelajaran Pendidikan Agama Katolik, tetapi juga membina dan melatih guru-guru agama supaya mereka bisa membina anak-anak dalam kehidupan beragama dengan baik.

Pendamping bersama anak-anak Bina Iman

Pengelolaan pendidikan agama Katolik di sekolah diserahkan dan dipercayakan kepada Komisi Kateketik KWI, karena secara nasional Komisi Kateketik KWI membantu para Uskup Indonesia dalam penanganan serta pengelolaan karya pewartaan Gereja, di mana pendidikan agama Katolik di sekolah merupakan salah satu bagiaannya. Pendidikan agama Katolik di sekolah juga merupakan usaha membantu orangtua dalam pendidikan agama anak-anak mereka, agar bisa berkembang dalam kehidupan berimannya.

Baca Juga:  Renungan Bacaan KS Hari Minggu Kitab Suci Nasional, 5 September 2021

Di kebanyakan keuskupan pendidikan agama Katolik di sekolah dikelola dan ditangani oleh komisi kateketik. Dalam melaksanakan tugas ini komisi kateketik keuskupan tidak bertindak sendiri, tetapi bekerjasama dengan Komisi Kateketik KWI, pemerintah, khususnya Bimas Katolik dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta lembaga-lembaga lain yang terkait, antara lain dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kebijakan pemerintah, entah itu di Bimas Katolik maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam pendidikan agama di sekolah.

Sehubungan dengan pendidikan agama Katolik di sekolah, dalam peraturan pemerintah ditegaskan, bahwa isi pelajaran Pendidikan Agama Katolik menjadi wewenang dan tanggung jawab Gereja. Sedangkan dalam penanganan hal-hal yang teknis, misalnya penyusunan kurikulum Pendidikan Agama Katolik dan pelatihan pelaksanaannya, Komisi Kateketik, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, bekerja sama dengan Pemerintah.

Gereja mengajarkan, bahwa pemegang wewenang tertinggi dan tanggung jawab terakhir dalam karya pewartaan, di setiap keuskupan adalah Uskup setempat. Maka Uskup setempatlah yang mempunyai wewenang tertinggi dan tanggung jawab terakhir menenukan isi Pendidikan Agama Katolik di sekolah di keuskupannya. Namun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti dikatakan di atas, dalam hubungan dengan penyusunan kurikulum Pendidikan Agama Katolik, Gereja, yang diwakili oleh Komisi Kateketik KWI, menentukan isinya, sedangkan hal-hal teknis diserahkan kepada Pemerintah, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama, dalam kerjasama dengan Komisi Kateketik KWI. Namun karena wewenang dan tanggung jawab tertinggi dalam bidang pewartaan di suatu keuskupan ada pada Uskupnya, pernah ada keuskupan yang menyusun dan menggunakan buku pelajaran Pendidikan Agama Katolik sendiri, namun tetap mengacu pada kurikulum yang dibuat oleh Komisi Kateketik KWI dalam kerjasama dengan Pemerintah, baik dalam isi maupun hal-hal teknis.

Baca Juga:  Pendidikan Karakter

Siapa yang berkompeten untuk menjadi guru agama di sekolah?

Yang memiliki kompetensi untuk menjadi guru pelajaran Pendidikan Agama Katolik adalah lulusan pendidikan guru agama yang diakui oleh Pemerintah dan Gereja. Mereka memiliki akta mengajar dan diharapkan oleh Gereja, agar jangan hanya menjadi guru agama, tetapi sekaligus pewarta Kabar Baik, terutama melalui teladan hidupnya. Mereka itu adalah lulusan lembaga pendidikan katektik, baik yang berlindung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun Kementerian Agama.

Namun fakta di Indonesia berbicara lain. Karena terbatasnya tenaga professional atau karena alasan lain, tidak semua guru pelajaran Pendidikan Agama Katolik di sekolah lulusan lembaga pendidikan kateketik. Ada guru agama yang berlatar belakang pendidikan teologi atau bahkan ada yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kateketik atau pun teologi. Mereka adalah guru pengampu mata pelajaran lain, yang diminta mengajar Pendidikan Agama Katolik, hanya karena mereka adalah orang Katolik. Kenyataan seperti ini tentu tidak ideal. Namun perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan terus membantu mereka, baik dari segi isi maupun keterampilan, agar mereka bisa menjadi guru agama yang baik. Diharapkan, agar sekolah, dalam mencari dan menerima pengampu pelajaran Pendidikan Agama Katolik, sungguh-sungguh teliti dan cermat, supaya yang dipilih sungguh guru pembawa dan saksi kabar baik, bukan kabar buruk.

Bagaimana pun juga, Gereja perlu mengusahakan dan mempersiapkan pengajar pelajaran Pendidikan Agama Katolik yang baik dan memenuhi syarat; juga sebagai antisipasi kalau Pemerintah pada suatu saat menerapkan peraturan pengajar di sekolah secara ketat. (oZo)