Ajakan untuk Merawat Rumah Bersama
Rabu (13/10/2021) – Komisi Sosial Ekonomi Unit Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Keuskupan Banjarmasin menggelar Webinar yang bertajuk “Mari Berdialog dengan Alam Ciptaan.” Kegiatan yang diadakan pada pukul 18.00 – 21.00 WITA tersebut diikuti sekitar 33 partisipan Zoom dan disiarkan secara live streaming melalui kanal YouTube Pusat Pastoral Keuskupan Banjarmasin.
Webinar terbagi dalam 2 sesi. Sesi pertama mengangkat tema Berdialog dengan Alam Ciptaan yang dibawakan oleh RP. Alsis Goa Wonga, OFM, Direktur JPIC OFM Indonesia dan Direktur INFO JPIC Indonesia. Sesi kedua dibawakan oleh Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan. Narasumber yang akrab disapa sebagai Cak Kiss ini membawakan materi mengenai Fenomena Kerusakan Alam di Kalimantan Selatan.
Ketua JPIC Keuskupan Banjarmasin, RP. Ruben Basenti Moruk, OFM dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut diselenggarakan dalam rangka merayakan Tahun Gereja Berdialog (Arah Dasar Keuskupan Banjarmasin Tahun 2021. Dan kegiatan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pengurangan Risiko Bencana Alam Sedunia yang diperingati setiap tanggal 13 Oktober sejak tahun 2009. Peringatan ini ditetapkan oleh PBB untuk membangun masyarakat dan komunitas yang tahan terhadap bencana alam. Tema yang diangkat untuk perayaan Hari Pengurangan Risiko Bencana Alam Sedunia tahun 2021 adalah “Kerja Sama Internasional terhadap Negara-Negara Berkembang untuk Mengurangi Risiko Bencana dan Kerugian Bencana”. Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang terdampak besar dari perubahan iklim. Oleh karena itu sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, para peserta diajak untuk mengembangkan dialog dengan alam ciptaan.
Mandat Awal Manusia: Memelihara Ciptaan
Dalam kisah penciptaan (Kej. 1) dinyatakan bahwa Allah memisahkan terang dari gelap, air atas dari air bawah, laut dari daratan yang menumbuhkan tumbuhan. Ruang itu diisi-Nya dengan benda-benda penerang, burung di udara dan ikan di laut, binatang di daratan, dan manusia menurut rupa Allah yang bertugas menaklukkan bumi dan berkuasa atas segala makhluk (ay. 26,28); tetapi tanpa saling memangsa (ay. 29-31). Allah melihat bahwa setiap ciptaan itu baik, sangat baik (ay. 31); lalu berhenti, sabbath.
Manusia diciptakan dari debu tanah, dihidupkan dengan nafas-Nya. Diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:26-27). Ditempatkan di Firdaus, dianugerahi kebun subur (dengan pohon kehidupan dan kematian), untuk mengerjakan dan memeliharanya, diberi hewan yang juga dari debu tanah, dan penolong sepadan dibuat dari tulang rusuk. Allah telah menciptakan suatu ekosistem ideal dan manusia diberi tanggung jawab khusus untuk memelihara ciptaan Tuhan.
Manusia adalah representasi Allah di hadapan ciptaan, tetapi manusia tetap sebagai ciptaan juga. Karena itu seharusnya ada “syalom”, harmoni, damai, dalam seluruh ciptaan; tidak ada penguasaan, penaklukan dan ancaman dan ketakutan.
Ciptaan yang ingin menduduki tempat Sang Pencipta
Alam bagi manusia adalah ruang hidup; oikos (rumah); di dalamnya hidup manusia terlindungi dan terjamin. Kekuatan dan kemampuan manusia sebagai gambar dan rupa Allah diabdikan untuk kebaikan semua ciptaan. Bukan eksploitasi tetapi konservasi.
Tugas konservasi ini juga dihubungkan dengan hari Sabath (hari ketujuh). Hari Sabath ini merupakan hari istirahat, bukan saja bagi manusia namun juga untuk memberikan kesempatan kepada alam untuk tidak disentuh, tetapi membiarkan dia bertumbuh dan berkembang.
Ketika manusia ingin seperti Allah (Kejadian 3), terjadilah chaos atau kekacauan dalam alam. Ketidaktaatan manusia telah merusak relasi dan merusak ekosistem yang ideal tersebut. Manusia tidak menerima diri sebagai ciptaan dan tidak mengakui Allah sebagai Pencipta, tetapi ingin menduduki tempat Sang Pencipta. Alam tidak lagi dilihat sebagai “sesama ciptaan”, tetapi sebagai obyek untuk memenuhi keinginan manusia sehingga terjadi penumpukan harta, perampasan hak serta pemiskinan sesama.
Laudato Si: Panggilan untuk Merawat Rumah Kita Bersama
Sulit mengingkari fakta bahwa defisit lingkungan hidup yang kini malah mengancam kelangsungan keberadaan manusia dan planet bumi berakar pada “arogansi” manusia. Dalam bahasa teologis, krisis lingkungan hidup adalah buah “ketidaktaatan” (dosa) manusia terhadap kehendak penyelenggaraan Allah dalam hidup manusia dan alam ciptaan.
Pemulihan keutuhan ciptaan, mesti dimulai dengan suatu pertobatan ekologis pada manusia. Pertobatan ekologis ini mencakup pengakuan dan penerimaan diri sebagai ciptaan di antara ciptaan lainnya serta kesadaran akan tugas dan tanggungjawab terhadap mandat awali Allah untuk mengolah dan memelihara bumi (bdk. Kej.2:15) dan tanggungjawab terhadap kehidupan (makhluk hidup, hidup manusia dan keberlangsungan kehidupan) dalam alam semesta.
Panggilan untuK “MERAWAT RUMAH KITA BERSAMA” adalah sebuah bentuk perwujudan iman Katolik. Iman yang merawat bumi! Bagaimana pun kita tidak bisa menutup mata dan melarikan diri dari persoalan “ancaman kepunahan segenap ciptaan. Dengan mata yang jujur dan tulus kita melihat di sekeliling kita dan mengakui bahwa “rumah kita bersama sedang terseok-seok menuju kerusakan yang tak dapat diperbaiki lagi”.
Kita perlu memiliki kemampuan untuk membaca tanda-tanda zaman dan mengakui bahwa “rumah kita bersama mengalami kerusakan parah.” Kita juga perlu membangun kesadaran bahwa kita dipanggil untuk menjadi pengelola yang bertanggung jawab, yang selalu bersyukur penuh iman atas kasih Allah yang menyelamatkan kita.
Gagasan untuk menangani krisis
Dalam pemaparannya, Romo Alsis Goa, OFM mengungkapkan gagasan untuk menangani krisis, yaitu melalui Ekologi Integral dan Ecopedagogi.
Ekologi Integral mencakup Ekologi Lingkungan, Ekonomi dan Sosial, Ekologi budaya serta Ekologi hidup sehari – hari dimana lingkungan dapat mempengaruhi hidup dan cara bertindak bertindak. Dua prinsip utama dan penting dalam ekologi integral adalah prinsip kesejahteraan umum dan prinsip keadilan antar generasi. Seruan untuk “mencari bentuk dan model pembangunan berkelanjutan dan integral” membutuhkan dialog yang terus menerus lintas agama, ilmuwan, kelompok sipil dan masyarakat pada umumnya dan dialog antargenerasi.
Selain ekologi integral, pembelajaran ekologi atau ecopedagogi merupakan cara lain untuk menangani krisis. Pembelajaran ekologi ini dimulai dari keluarga hingga ke ruang publik. Setiap orang diberikan pengetahuan, ketrampilan, partisipasi serta ditanamkan kesadaran untuk mengelola lingkungan yang berkelanjutan sehingga tercipta perilaku yang berpartisipasi aktif dalam perbaikan, pelestarian dan perawatan lingkungan.
Fenomena Kerusakan Alam di Kalimantan Selatan
Pada Sesi kedua webinar tersebut, Cak Kiss mengungkapkan beberapa bencana yang terjadi di Kalimantan Selatan, antara lain banjir yang terjadi pada awal tahun 2021. Banjir tersebut melanda 11 dari 13 kabupaten/kota di sebelah barat Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan. Disusul banjir di Kabupaten Tanah Bumbu pada bulan Mei 2021. Sedangkan pada awal tahun 2020, banjir terjadi di kabupaten di sebelah barat daya, selatan dan tenggara Pegunungan Meratus.
Selain banjir, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) juga merupakan bencana alam yang sering terjadi di Kalimantan Selatan di samping bencana pencemaran udara, air dan sungai, longsor, pandemi, pemanasan global dan sebagainya. Bencana-bencana tersebut merupakan dampak dari kerusakan alam akibat kebijakan dan regulasi yang belum berpihak pada keselamatan rakyat dan lingkungan. Oleh karena itu salah satu desakan WALHI Kalsel terhadap pemerintah adalah agar pemerintah segera membuat kebijakan yang berpihak pada keselamatan rakyat dan lingkungan, berkeadilan lintas generasi serta mampu menghilangkan bencana ekologis. (smr)