Sharing oleh: Maria Roeslie

Tagline yang saat ini sangat kesohor di banua kita, dan mungkin sebagian besar dari kita sudah tahu bahkan sering mendengar atau membacanya di beberapa media cetak ataupun media sosial. Saran untuk tidak panik berlebih karena musuh kita berperang ini tidak terlihat dan sangat berbahaya.

Sebagai penyintas Covid19 yang dihampiri virus ini tepat setahun yang lalu, yaitu di bulan Agustus sampai September 2020, saya adalah manusia yang beruntung bisa melewati masa-masa yang sangat tidak enak tersebut. Mengkhawatirkan, menggelisahkan bahkan membuat derai airmata bagi keluarga saat membayangkan akibat terburuk yang akan dihadapi.

Saya ingin berbagi cerita dan berbagi pengalaman apa yang telah kami lalui itu dan bagaimana kami berhasil sembuh dari Covid19 saat itu.

Maria Roeslie dengan terbang Madihin

Pada mulanya yang terpapar kemungkinan besar adalah adik bungsu saya yang gemar berteman dan kumpul-kumpul temannya. Adik bungsu saya tinggal serumah dengan kedua orang tua saya. Saat itu Papi saya berusia 82 tahun dengan kondisi pasca stroke, sedangkan mami berusia 74tahun dengan komorbid diabetes dan darah tinggi lebih dari 30 tahun. Si bungsu mengalami gejala demam dan  berkeringat terus menerus. Sehingga saya sarankan untuk isolasi mandiri di salah satu hotel. Namun keesokan harinya papi lemas di depan kamar mandi, saya yang berbeda rumah diberitahu mami mengenai kondisi papi, langsung meluncur ke rumah orang tua. Singkat cerita papi opname 43 hari, dan mami opname di rumah sakit 3 hari serta lanjut rawat sendiri di rumah ( saya beserta 2 adik laki-laki , bahu membahu merawat mami ). Papi saya carikan orang untuk membantu kami merawat dan mendampingi papi di rumah sakit, namun tetap dalam pantauan kami. Saya memasang kamera CCTV di kamar perawatan papi untuk memastikan kondisi papi baik-baik saja. Saya dan adik laki-laki focus merawat mami yang juga terpapar.  Puji Tuhan, tidak terlalu lama papi opname, kami sudah dapat orang yang menemani beliau di rumah sakit.

Saat mami sudah sembuh, saya yang giliran mendapat demam 5 hari, tidak selera makan dan mencret-mencret serta lemas. Akhirnya saya pun dibawa adik ke rumah sakit dalam kondisi tidak mampu lagi berjalan, sehingga menggunakan kursi roda menuju mobil untuk berangkat ke rumah sakit. Saya opname dengan bantuan oksigen, saya sempat bertanya kenapa saya dipasang oksigen, sedangkan saya tidak merasa sesak nafas, hanya lemas. Dokter memberitahu, jika kita berjalan dan merasa capek, nafas tidak normal seperti biasa, itu sudah dapat dikategorikan sesak. Apalagi jika sampai kita sudah merasa sesak, itu sudah dalam kondisi berbahaya.

Baca Juga:  Aku Dipanggil Menurut Kehendak Allah

Saya pun kembali menggunakan media sosial mencari orang untuk menemani dan merawat saya selama opname. Teman-teman pada bertanya, bagaimana bisa dapat orang yang mau menemani pasien yang terjangkit Covid19. Kan sangat berisiko terpapar penyakit yang berbahaya bisa mematikan. Saya menggunakan media sosial untuk mencari, dengan menginformasikan syarat usia 21-28 tahun, kondisi badan fit dan lain-lain sesuai syarat yang kita inginkan, tidak lupa juga menyebutkan terus terang menjaga dan merawat pasien Covid19, sehingga harus berada bersama pasien 24jam dalam sehari, tidak boleh pulang kecuali keluar bareng pasien. Tentu saja menyebutkan gaji yang cukup mumpuni. Ternyata banyak sekali pelamar. Kita diuntungkan juga, karena banyak yang butuh pekerjaan dalam kondisi saat ini, banyak juga yang tidak takut bahkan tidak percaya dengan Covid19.  Tehnik ini saya sampaikan ke beberapa teman yang juga membutuhkan perawat bagi keluarganya, cukup manjur sampai saat ini dan cukup mudah mendapatkan perawat.

Kenapa harus ada pendamping saat pasien dirawat? Orang sakit cenderung malas beraktifitas, karena lemas, ngantuk, dan lain-lain. Akibatnya jika tinggal sendiri dalam kamar, maka dapat dipastikan makin membuat pasien tidak semangat, dan imun tubuh terus menurun. Oh ya sejak saya ke rumah orang tua, saya sudah tidak kembali lagi ke rumah, karena saya tau, saya pasti sudah terpapar. Sehingga suami dan anak-anak saya tetap aman sampai saat ini.

Saat saya mulai opname, tidak ada selera makan sama sekali. Beberapa hari saya sempat kurus turun 13kg. Untunglah adik saya mengetahui akan hobby saya makan rujak buah, mulailah saya dikirimin rujak buah, teman-teman juga tau saya suka buah, mulai mengirim buah-buahan. Akhirnya sampai dinyatakan sembuh saya hanya makan rujak buah dan buah-buahan setiap hari. Intinya, makan lah apa saja yang disukai saat kita sakit, terus makan. Setelah selera makan saya mulai pulih, saya order makanan yang saya sukai melalui ojek online. Apa saja yang dibilang bagus untuk penyembuhan selain obat medis, saya lakoni. Antara lain , mengunyah sirih, makan bawang putih, rutin minum air daun sungkai, menelan minyak kayu putih, kumur dan telan air garam, makan tim sarang burung wallet, kumur-kumur betadine dan air ion negatif, juga mengkonsumsi obat herbal dari china juga saya lakukan. Tentu saja yang paling utama adalah saya tidak lepas dari Doa Rosario, berserah penuh kepadaNYA. Saya pun tiap hari nonton 2-3 film-film lucu dan jenaka di hape melalui Netflix, ruang kamar saya full music dari hape yang diconnect ke speaker Bluetooth. Dapat dipastikan suster dan dokter yang merawat juga happy melihat pasien yang ruang kamarnya selalu happy.  Disamping itu dukungan keluarga dan teman-teman akrab berperan sangat penting, melalui what’s up video call rutin, kami bercanda ria. Pastilah imun tubuh saya terus naik.

Baca Juga:  Rumah Sakit Apung (RSA) Dr. Lie Dharmawan: Memberikan Pelayanan Terbaik (Bag 1)

Saat saya memutuskan untuk ke rumah orang tua yang sudah saya perkirakan terpapar covid19, karena adik bungsu bergejala tanda-tanda covid, saya sempat diprotes hebat oleh anak-anak saya. “Mami jangan ke sana”, teriak mereka. “Mami bahaya, tidak sayang kami kah ? kalau terjadi apa-apa dengan mami bagaimana kami”, saya jawab. “Mami sayang semua, tapi dalam kondisi saat ini, Uma & Engkong lebih membutuhkan mami”. Percayalah, mami tidak akan apa-apa, mami pasti kembali ke rumah dalam kondisi baik-baik saja. Saya tidak akan sanggup membiarkan orang tua saya menghadapi penyakit berbahaya tanpa di damping anaknya, apalagi saya anak sulung. Juga saya ingin merawat dan memantau sendiri kondisi kedua orang tua saya, untuk memastikan orang tua saya mendapatkan perawatan terbaik. Puji Tuhan kami semua dapat sembuh dan pulih seperti sedia kala.

 

Pelajaran yang dapat saya petik dari kondisi saya tersebut, adalah

  1. Covid19 bukan aib, sehingga kita perlu sharing dengan teman-teman, keluarga atau saudara untuk bersama-sama menghadapi kondisi tersebut. Mungkin bisa bantu saran, atau kirim obat-obatan ataupun kirim makanan, karena si sakit akan semangat jika merasa diperhatikan.
  2. Jika kita bergejala, segera berobat. Jangan terlambat. Baik opname ataupun isoman dengan lebih dahulu konsultasi dokter adalah hal terbaik. Karena jika terlambat diobati, virus sudah terlanjur merusak organ tubuh, maka akibatnya fatal. Jika cepat berobat, walau ada komorbit seperti dibuktikan oleh orang tua saya dengan usia yang cukup tua, akan sembuh dan pulih seperti sedia kala.
  3. Terus makan makanan yang disukai selama sakit, agar selera makan tetap terjaga dengan baik. Kondisi tubuh akan terus membaik dan penyakit hilang. Saya hanya makan rujak dan buah, papi hanya makan pisang dan roti saja, mami juga saat sakit kita terus tawarkan makanan enak dan selalu saya temani saat makan.
  4. Si sakit harus terus semangat dan bahagia serta berserah pada penyertaan Tuhan, jangan putus asa. Doa terus dan keluarga harus terus memberi semangat. Adik-adik di luarkota memang saya larang untuk datang ke Banjarmasin saat orang tua sakit, karena berisiko jika bepergian dalam kondisi saat ini. Namun mereka membantu memantau dari CCTV dan membantu kami dari jauh, dengan terus berkoordinasi dan saling menguatkan satu sama lain. Untungnya kami bersaudara sangat dekat satu dengan lainnya. Walau kadang bisa juga ada berbeda pendapat.
  5. Sebaiknya yang sakit tetap didampingi dalam ruang perawatan agar tetap semangat, pendamping usia muda lebih tahan daya tahan tubuhnya. Pengalaman saya, yang jaga saya 24jam dalam sehari tetap sehat sampai saat ini padahal hanya pakai masker bahkan terkadang tanpa masker terutama saat tidur malam. Pendamping kita juga kita dopping vitamin agar tetap sehat serta makanannya juga harus diperhatikan. Karen ajika mereka sakit, kita akan lebih sakit. Tenaga medis yang masuk ruang isolasi terbatas jam nya, sehari hanya 3x saja, untuk memeriksa saturasi oksigen, cek tekanan darah serta suhu tubuh, selain injeksi obat, cek cairan infus dan mengantar ransum. Itupun mereka pasti sangat gerah karena menggunakan baju APD lengkap. Kasihan sekali. Saya tidak dapat mengenal dengan baik wajah mereka, karena sudah seperti robot. Selebihnya pasien dipantau lewat CCTV dan komunikasi lewat pengeras suara yang terpasang di tiap kamar. Jadi sangat dibutuhkan perawat pribadi yang standby 24 jam disamping pasien.
  6. Tetap ada jiwa-jiwa tulus yang membantu merawat si sakit, walau sangat berisiko dan Tuhan tetap melindungi mereka. Yang pernah terpapar mempunyai daya tahan tubuh yang cukup kuat, seperti yang dulu menjaga papi saat di rumah sakit, sampai saat ini menjadi seperti piala bergilir diperebutkan untuk menjaga pasien covid19 tanpa pernah sakit. Kecuali saat menjaga papi sempat demam 3hari (papi pasien covid19 pertama yang dirawatnya). Yang dulu menjaga dan merawat saya, sampai saat ini jadi sahabat saya, terkadang kami masih sering bertemu dan makan bareng. Karena saya merasa sangat berhutang nyawa padanya, bukan sekedar nilai komersial yang dikeluarkan.
Baca Juga:  Stefanus Sumarno: Memanen Buah Ketekunan

 

Sebagai penyintas Covid19, kita  tetap harus waspada dan tetap menjalankan protokol kesehatan agar kita dan sekitar kita tetap sehat.

#Bawa Batanang Musuh Harat.

 

Salam sehat dan bahagia,

MARIA ROESLIE