Di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung, barangkali ungkapan ini yang dulu dipakai oleh generasi nenek moyang Suku Tionghoa yang awal menetap di Banjarmasin. Sehingga tidak heran jika penyerapan budaya lokal Suku Banjar sangat besar pengaruhnya dalam melaksanaan tradisi leluhur suku Tionghoa.

Sumber gambar: pngdownload.id

 

Apa yang dinamakan Peranakan Tionghoa Banjar, mari kita lihat  dari   berbagai kutipan seperti yang ditulis oleh M. Rezky Noor Handy dalam jurnal penelitiannya berjudul Orang Tionghoa Di Banjarmasin Dalam Sejarah Banjar, sebagai berikut :

  1. Menurut Moch. Fajar Amrullah (2004:36-37), Orang Cina/ Tionghoa yang datang ke Indonesia atau Tionghoa Imigran disebut dengan “Cina Totok”, setelah itu ada yang kawin dengan orang-orang pribumi dan melahirkan Tionghoa Peranakan. Untuk itu biasanya mereka berorientasi pada kebudayaan Indonesia, termasuk hal bahasa.
  2. Menurut Titin Listiani (2011), Masyarakat Tionghoa di Indonesia umumnya terbagi menjadi dua golongaan. Pertama disebut dengan golongan Peranakan, yaitu generasi imigran Cina yang hidup turun-temurun di Indonesia yang sudah tidak lagi condong ke negeri Cina dan telah menganggap Indonesia sebagai bangsa asli mereka. Golongan kedua adalah golongan “Totok” yaitu mereka yang telah hidup turun-temurun namun pada umumnya masih fanatik menggantungkan loyalitas kepada leluhurnya di negeri Cina.

Jadi yang penulis maksudkan sebagai Peranakan Tionghoa Banjar adalah warga keturunan Tionghoa  yang sudah beberapa generasi lahir dan besar serta membaur dengan penduduk asli baik dengan ikatan perkawinan ataupun dalam hal percampuran budaya dan bahasa dan telah menganggap Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya namun tidak melupakan budaya asli nenek moyangnya.

 

Dalam edisi kali ini penulis mencoba mengangkat tema Peh Cun.

Diperingati setiap tahun pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Lunar Tionghoa (Penanggalan Imlek). Peh Cun berasal dari dialek Hokkian untuk kata Pachuan (扒船), yang dalam  bahasa Indonesia berarti mendayung perahu.

Baca Juga:  Lomba Menulis Artikel untuk Orang Muda Katolik KEBAN

Di Banjarmasin, perayaan Peh Cun dengan melakukan ritual sebagai berikut :

Pada Malam Hari sebelum hari  H, direndamlah air bersih, mayang (bunga dari pohon pinang yang belum mekar) dengan “kambang randaman” 7(tujuh) rupa, umumnya mawar, melati, cempaka, kantil, kenanga, kamboja, kacapiring.   Agar keesokan harinya air tersebut mengeluarkan wangi harum.

Pagi hari, di atas pintu utama, pintu samping atau pun pintu belakang rumah digantung kemasan yang berisi 1(satu) biji kue-cang kecil, padi muda, daun lenjuang berwarna merah (hanjuang/ andong), mayang, diikat dengan daun jariangau (jeringau/ jerangau), hal ini dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu manusia.

Pada Siang hari, dilakukan ritual mandi di sungai yang airnya mengalir. Ritual dimulai pada siang hari ( sekitar jam 10.00 – 14.00 ), sembari saling menyiramkan air ke sesama warga yang mandi.

Pada saat ini juga banyak warga yang menggunakan perahu-perahu kecil  hilir mudik saling siram antar warga dalam suasana bahagia.  Adapun lokasi sungai yang banyak dilakukan ritual ini di Sungai Martapura dan anak-anak sungainya dimana banyak warga bermukim, antara lain sepanjang sungai tepekong/veteran, sungai pacinan, dan sungai benawa.

Selesai mandi di sungai, pulang ke rumah bagi para lelaki langsung bilas air harum mewangi dari rendaman mayang dan kembang 7(tujuh) rupa yang sudah disiapkan dari malam hari. Sedangkan untuk perempuan lebih dulu dilakukan  ritual “bekasai” atau dikenal dengan nama luluran,  baru selesai itu bilas dengan air harum mewangi dari rendaman mayang dengan kembang 7(tujuh) rupa juga.

Untuk yang sedang berhalangan untuk mandi di tepi sungai, maka air sungai diambil menggunakan ember mandi untuk kemudian dipakai mandi siang itu juga di rumah.

Bakcang

Setelah mandi bersih tersebut, dilanjutkan dengan makan beberapa makanan khas yang telah disediakan oleh ibu-ibu rumah tangga di rumah masing-masing seperti bak-cang ( penganan yang terbuat dari ketan atau nasi berisi daging/ ayam, kacang putih dan terkadang juga ada campur telur asin, dibungkus berbentuk prisma segitiga dengan daun bambu dan dikukus), kue-Cang ( yang berbentuk sama, namun dibuat hanya dari ketan diwarnai kuning tanpa isi dan makannya dengan gula merah cair dan juga lupis ( penganan khas banjar ).

Baca Juga:  RP. Martinus Juprianto Bulu Toding, SJ: Berbagi Rahmat dan Cinta Allah

Pada jam 12.00 -13.00 siang itu juga banyak warga mendirikan telor, karena pada jam tersebut telor bisa tegak berdiri, karena saat itu terjadi semacam pertemuan antara titik nol dari langit dan bumi . Telor bisa sendiri selama satu jam setelah jam satu telur-telur tersebut bisa roboh dengan sendirinya hal ini akibat gaya magnet bulan, bumi dan matahari segaris.”

Legenda yang terkait dengan tradisi/ ritual ini adalah  dengan catatan sejarah dan cerita turun temurun dalam masyarakat Tiongkok terkait Menteri Setia bernama Qu Yuan.

Dari catatan sejarah dan cerita turun temurun dalam masyarakat Tiongkok, asal usul legenda sejarah  ini dapat dirangkum menjadi 2 kisah :

Yang pertama adalah peringatan atas Qu Yuan. Qu Yuan (339 SM – 277 SM) adalah seorang menteri negara Chu di zaman negara-negara berperang. Ia adalah seorang pejabat yang berbakat dan setia pada negaranya, banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu, bersatu dengan negara Qi untuk memerangi negara Qin. Namun sayang, ia dikritik oleh keluarga raja yang tidak senang padanya yang berakhir pada pengusirannya dari ibu kota negara Chu. Ia yang sedih karena kecemasannya akan masa depan negara Chu kemudian bunuh diri dengan melompat ke sungai Miluo. Ini tercatat dalam buku sejarah Shi Ji.

Kisah kedua adalah Bermula Dari Tradisi Suku Kuno Yue di Tiongkok Selatan. Perayaan sejenis Peh Cun ini juga telah dirayakan oleh Suku Yue di Selatan Tiongkok pada zaman Dinasti Qin dan Dinasti Han. Perayaan yang mereka lakukan adalah satu bentuk peringatan dan penghormatan kepada nenek moyang mereka. Kemudian setelah terasimilasi secara budaya dengan Suku Han yang mayoritas, perayaan ini kemudian berubah dan berkembang menjadi perayaan Peh Cun yang sekarang kita kenal.

Baca Juga:  Tradisi Peranakan Tionghoa Banjar: Sembahyang Onde-Onde

Di negara Tiongkok, Taiwan, America Serikat dan beberapa negara lain, Festival Peh Cun dirayakan dalam bentuk perlombaan perahu naga. Bahkan di kota-kota seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan di beberapa kota besar di Indonesia juga rutin mengadakan perayaan tradisi ini dengan mengadakan lomba perahu naga. (Sumber : https://abouttng.com/peh-cun/)

 

Salam sehat dan bahagia,

MARIA ROESLIE