Colloquium: RP. Albertus Jamlean, MSC: Menghidupkan Gereja melalui Keluarga
Pastor Albertus Jamlean, MSC, biasanya dipanggil Pastor Albert, sejak 16 Juli 2017 mengampu sebagai Pastor Paroki santa Perawan Maria Yang Terkandung Tanpa Noda-Kelayan Banjarmasin. Panggilannya tumbuh dan berkembang di pulau Kei Kecil, dimana daerah tersebut menjadi pusat misi Kongregasi MSC. Pengalaman kedekatan keluarga dengan para misioner menumbuhkan panggilannya. Perjalanan panggilan adalah unik, mari kita mengenal Pastor Albert,MSC.
Bisakah Pastor Albert menceritakan latar belakang keluarga?
Bapak saya, Liberatus Jamlean adalah orang Kei Kecil, mama saya, Marselina Saikmat dari Tanimbar. Mereka bertemu di Tanimbar sewaktu bapak ikut saudaranya yang bekerja sebagai guru di Tanimbar. Setelah menikah mereka kembali ke Kei kecil. Kami 8 bersaudara, 3 perempuan dan 5 laki-laki. Saya anak kedua, kakak saya perempuan sudah meninggal.
Orang tua saya petani sederhana tinggal di kampung Ohoililir (Pulau Kei Kecil-Maluku Tenggara), sekarang menjadi tempat wisata pantai. Satu adik perempuan menjadi suster Tarekat Maria Mediatrix. Adik bungsu menjadi imam praja di Keuskupan Amboina.
Bagaimana Pastor terpanggil menjadi seorang imam?
Alasan pertama iklim masyarakat mayoritas Katolik. Pada tahun 1903 ada dua misionaris MSC asal Belanda tiba di desa Langgur, pulau Kei Kecil. Setelah kedatangan misionaris tersebut, pelan-pelan banyak warga masuk Katolik. Di kampung saya semua Katolik. setiap minggu kami berkumpul dan berdoa bersama. Karena suasana ini, maka panggilan menjadi imam dan biarawan-biarawati tumbuh subur.
Kedua, karena saya melihat semangat pelayanan para misionaris Belanda. Mereka memiliki kebiasaan mengunjungi keluarga dan sekolah-sekolah. Setiap mengunjungi sekolah mereka akan bertanya, siapa yang mau masuk seminari? Pertanyaan itu membuat saya menyatakan diri ingin masuk seminari.
Ketiga, saat itu rumah kami selalu menjadi tempat persinggahan pastor, suster atau seminaris dari Tanimbar karena mama saya berasal dari sana. Kami yang masih kecil menangkap suasana itu.
Di dalam rumah sendiri, walau bapak dan mama orang sederhana dan tidak banyak bicara, namun mereka rajin ikut kegiatan di gereja dan menunjukkan semangat pelayanan. Pada hari raya tertentu kami berkumpul dan berdoa Rosario. Bapak bahkan menjadi koster selama 30 tahun. Waktu kecil saya sering ikut bapak ke gereja. Kalau ada pastor mau pergi ke stasi lain, saya ikut membawakan tas pastor hingga stasi tersebut.
Ada satu pengalaman yang menguatkan panggilan. Suatu malam saat saya dan bapak akan ke laut dan menuju ke sebuah pulau untuk memancing, kami menemukan banyak ikan menggelepar-gelepar terjebak di pantai pulau tersebut karena laut surut. Maka segera kami ambil ikan-ikan itu dan memasukkan ke dalam sampan sampai sampan dipenuhi ikan. Kemudian saya teringat Sabda Yesus kepada Petrus dalam Injil, “Tebarkanlah jalamu” sesudah itu Ia bersabda, “Kamu akan kujadikan penjala manusia.” Ini pengalaman kecil yang memberikan inspirasi menjadi pastor.
Apakah orang tua mendukung panggilan Pastor?
Pada awalnya mama tidak setuju saya masuk seminari kecil karena saya anak laki-laki tertua dan adik masih banyak. Otomatis keuangan terpusat untuk membayar biaya sekolah dan asrama saya di seminari dan adik-adik saya akan jadi korban. Nyatanya memang demikian. Ada adik laki-laki dan perempuan, putus sekolah hingga SMP saja, padahal mereka ini jauh lebih pintar. Kalaupun kemudian adik bungsu bisa masuk seminari, itu karena kondisi keluarga sudah lebih baik. Dahulu orang tua membayar biaya sekolah tidak dengan uang, tapi dengan hasil kebun. Bapak berjalan sekitar 1,5 jam sambil memikul hasil kebun ke seminari. Suster menghitung berapa setara nilai uangnya. Saya dan beberapa teman pernah disuruh pulang karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Tapi saat saya di rumah, paman dan bibi menyuruh saya kembali ke seminari karena mereka akan menyelesaikan biayanya.
Lalu, bagaimana akhirnya memilih MSC?
Setelah lulus seminari menengah St. Yudas Thadeus Langgur, 1981, saya melanjutkan ke Seminari Tinggi Hati Kudus di Pineleng-Manado. Saya memilih tarekat MSC karena saat itu lebih mengenalnya lewat para biarawan MSC. Masih jarang yang memilih praja. Namun sekarang, para MSC sangat mendukung seminaris untuk memilih menjadi calon imam praja. Sekarang pertumbuhan imam praja di Amboina pesat sekali. Namun minat seminaris masuk MSC tetap masih banyak karena kami berkarya di banyak keuskupan.
Kapan ditahbiskan?
Saya ditahbiskan 8 Desember 1989 di Desa Waur Pulau Kei Besar bersama Pastor Frans Kabrahanubun MSC yang pernah berkarya dan meninggal di Tanjung, dan seorang sepupu saya, Pastor Cornelis Jamlean MSC. Motto tahbisan, “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia akan berbuah banyak. Sebab di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:5). Saya mengambil teks itu karena saya yakin panggilan ini berasal dari Tuhan. Bukan kamu yang memilih Aku, tapi Aku yang memilih kamu. Kalau Dia telah memilih saya, maka saya berjuang memberikan yang terbaik dan berusaha untuk selalu dekat dengan-Nya dan mengandalkan Tuhan.
Setelah ditahbiskan berkarya dimana?
Tugas pertama sebagai pastor rekan di Paroki Masohi, Pulau Seram, seberang Ambon selama 1,5 tahun. Di paroki tersebut, perjalanan turne harus ditempuh dengan kapal Motor “Lea Nusa” (buatan Belanda) mengunjungi umat di pulau Seram sampai ke pulau-pulau terpencil. Jadwal turne disiarkan melalui RRI Ambon. Diharapkan umat mendengar siaran jadwal turne. Kalau tidak mendengar berita, biasanya saudara-saudari di kampung Muslim yang mendengarnya akan memberitahukan kepada umat Katolik bahwa pastor akan berkunjung ke tempat mereka.
Saya dipindahkan ke Paroki St. Kristoforus, Grogol, Jakarta. Setelah itu diutus belajar Teologi Misi ke Roma selama tiga tahun. Tahun 1997 kembali ke tanah air, ditempatkan di Pusat Spiritualitas MSC Wisma Gonzalo Veloso Ambon. Di tempat itulah saya pernah melayani para pengungsi korban konflik Ambon sejak tahun 1999 sampai 2014. Sejak tahun 2001 saya diangkat menjadi Pemimpin MSC Daerah Maluku sampai april tahun 2008. Mei 2008 dipilih menjadi wakil Provinsial MSC Provinsi Indonesia di Jakarta. Tanggal 16 Juli 2017, diangkat menjadi pastor paroki Santa Perawan Maria Yang Terkandung Tanpa Noda, Kelayan, Banjarmasin.
Bagaimana Pastor memaknai peristiwa konflik di Ambon tersebut?
Situasi konflik ini memang aneh, karena selama ratusan tahun masyarakat Ambon hidup rukun, damai diikat semangat adat pela kandong. Rupanya ada pihak luar yang menciptakan konflik dengan menggunakan isu SARA. Akhirnya terjadi konflik tak terkendali yang menelan banyak korban. Walaupun di tengah konflik orang Ambon baik Kristen maupun Muslim berusaha untuk selalu saling melindungi. Sangat disayangkan karena semangat hidup rukun dan damai walau beda agama dapat dihancurkan dalam sekejap karena kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Konflik ini mengajarkan kita bahwa hidup rukun dan damai dalam kemajemukan adalah kekayaan yang luar biasa yang harus terus kita bina dan jangan membiarkan pihak tertentu menghancurkannya demi kepentingan mereka.
Apakah ada peristiwa yang membuat Pastor ingin meninggalkan panggilan?
Tidak ada. Bagi saya, justru kesulitan-kesulitan makin memacu semangat saya untuk lebih tekun dan setia.
Bagaimana pengalaman beberapa bulan ini di paroki Kelayan?
Kesannya umat di sini hidup dan ada banyak umat yang mau terlibat serta punya kepedulian dan komitmen dalam membangun kehidupan menggereja. Komunitas-komunitas tertentu hidup dan bersemangat tapi memang ada komunitas yang perlu dihidupkan dan diberdayakan dalam pelayanan. Untuk menghidupkan komunitas, wilayah dan paroki, maka kuncinya keluarga-keluarga harus hidup. Untuk itu diperlukan penyegaran, perhatian dan pendampingan bagi keluarga dan khususnya suami istri secara terus menerus. Selain itu, perlu ada pengkaderan dan pembinaan untuk anak, remaja, orang muda agar sejak dini mereka mulai mencintai Gerejanya dan rela melayani Tuhan dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. (oZo)