Dari Seorang Biarawan Menjadi Rohaniwan
Refleksi Panggilan RD. Yohanes Tjuandi
- Motivasi panggilanku
Ada dua peristiwa mendasar yang membuat aku memutuskan untuk menjadi imam, yakni: (1) Penyakit asma (bengek) yang pernah aku alami pada saat kanak-kanak dan itu sampai membuat aku berjalan ngesot, (2) Pendidikan dari orang tuaku yang mengharuskan anak-anaknya (aku dan kakakku) untuk ikut misa setiap Minggu pagi lalu berlanjut dengan kegiatan Sekolah Minggu.
Aku bersyukur atas mujizat kesembuhan dari Tuhan dan aku berterima kasih karena berkat dorongan orang tua kepadaku untuk rajin misa serta ikut Sekolah Minggu setiap minggunya ternyata menumbuhkan minatku untuk menjadi imam yang saat itu imamnya gaul, sangat menarik (lucu) manakala menyampaikan homili.
Permenungan motivasi menjadi imam terus bertumbuh karena keprihatinan sedikitnya Orang Muda Katolik yang mau menjadi imam dan sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa kebahagiaan hidup dalam diriku ialah membantu orang lain yang menderita, susah-terpencil melalui pelayanan rohani (pelayanan sakramen).
- Dari seorang biarawan menjadi rohaniwan
Biografi hidup yang aku tulis merupakan jejak langkah dan rahmat dari Allah yang mendidik diriku sampai pada saat ini menjelang menerima tahbisan imamat. Aku bersyukur atas segala tuntunan-Nya termasuk peralihan dari calon imam biarawan OSC menjadi calon imam diosesan Banjarmasin.
Permenungan akan sabda dari kitab Amsal sungguh meresap di hati dan pikiranku bahwa ”Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21). Pembelajaran dalam hidup formasi sewaktu menjadi frater di Bandung menyadarkan hidupku bahwa cobaan itu bukan untuk dicobai, tetapi untuk dihadapi dengan berpusat pada terang Kristus dan pada titik inilah refleksi mendalam aku peroleh tentang kesetiaan dan ketangguhan dalam menapaki hidup.
Aku bersyukur bahwa pengalaman menjadi guru selama lima tahun ketika menjadi awam (2012-2017) tidak memadamkan api panggilan untuk menjadi imam, tetapi justru semakin ditunjukkan oleh-Nya titik terang untuk menjadi imam diosesan di Banjarmasin melalui perantaraan-Nya, yakni Uskup Bandung Mgr. Antonius Subianto, OSC. Ini bukan transfer pemain sepak bola yang berbicara tentang harga, melainkan tentang ketulusan dan totalitas pemberian diri untuk Tuhan Allah yang didasari dengan semangat pertobatan dan pemberian tulus dengan sikap kerendahan hati.
Lika-Liku formasi perjalanan panggilan
Orientasi pertama di tanah Kalimantan Selatan sebagai rasul awam di paroki Santo Vincentius a Paolo, Batulicin (tahun 2017) menjadi pembelajaran hidup yang sangat berharga karena layaknya spekulasi pilihan hidup, namun ternyata mengakar kuat dalam diriku bahwa aku datang ke Banjarmasin untuk menjadi imam diosesan atau projo Banjarmasin.
Salah satu tugas yang saya refleksikan mendalam ialah perjuangan pastoral ditemani motor bebek untuk menuju tempat mengajar anak-anak di daerah hutan sawit (Mangkalapi) yang jaraknya lumayan jauh. Kebahagiaan dalam diri ini bisa aku rasakan karena mereka sangat antusias menyambut kedatanganku walau aku hanya mengajar baca, tulis, hitung dan dasar-dasar kekatolikan untuk anak-anak gabungan dari TK sampai SD kelas VI. Ada pelangi muncul di balik pelayanan demi bertambahnya kemuliaan Allah.
Kolaborasi antara keterbatasan intelektualku dan keinginanku untuk menjadi imam membuat aku harus bisa memenuhi tuntutan atau syarat untuk menjadi imam, yakni menyelesaikan studi filsafat-teologi. Perjuangan yang tidak mudah, tetapi kembali segala proses yang terjadi kusadari bukanlah berasal dari dalam diri sendiri tetapi ada ’Kasih Tuhan’ yang menuntunku sehingga perjalanan studi berjalan lancar.
Ketika kesulitan datang menghantui pikiranku, aku hanya bisa berdoa memohon kekuatan dari-Nya. Perjalanan masa diakonat di Stasi Maria Manikam Damai (Mandam) mengajarkanku tentang cara yang tepat dalam pelayanan. Dalam artian kontekstual dengan parang di tangan dan juga harus siap nyali menghadapi risiko di tengah-tengah hutan sawit saat malam hari setelah selesai pelayanan ibadat sabda. I trust that God will make a way.
(Yohanes Tjuandi)