Hari ini, sesuai dengan penanggalan liturgi Gereja, kita merayakan Pesta Bertobatnya Santo Paulus Rasul. Di dalam Kisah Para Rasul, nama Paulus (dulunya bernama Saulus) muncul pertama kali sebagai seorang Yahudi fanatik. Dia termasuk golongan Farisi, murid dari rabi Gamaliel di Yerusalem.

Sebagai seorang Yahudi yang fanatik, Saulus setuju jika orang-orang Yahudi yang telah menjadi pengikut Kristus ditangkap dan diadili menurut hukum agama. Tidak hanya sekedar setuju, dia juga ikut serta dalam upaya pengejaran dan penangkapan terhadap umat Kristen untuk kemudian diserahkan kepada pengadilan Mahkamah Agama Yahudi (Kis. 8:3). Bahkan, dia juga menjadi saksi atas hukuman rajam terhadap Stefanus (Kis. 7:58).

Saulus berpikir bahwa jika umat Kristen dibiarkan berkembang, maka kekudusan bangsanya sebagai umat Allah akan ternodai. Sedemikian berkobar-kobarnya kebencian Saulus terhadap para pengikut Yesus, sehingga dia tidak segan-segan meminta izin dan surat kuasa kepada Imam Besar agar dapat menangkap para pengikut Kristus di kota Damsyik. Pengalaman itu diceritakannya kepada orang-orang Yahudi seperti yang tertulis di dalam Kis. 22:3-5.

“Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah sama seperti kamu semua pada waktu ini. Dan aku telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara. Tentang hal itu baik Imam Besar maupun Majelis Tua-tua dapat memberi kesaksian. Dari mereka aku telah membawa surat-surat untuk saudara-saudara di Damsyik dan aku telah pergi ke sana untuk menangkap penganut-penganut Jalan Tuhan, yang terdapat juga di situ dan membawa mereka ke Yerusalem untuk dihukum”.

Baca Juga:  Berani Menjadi Pionir

Tidak ada yang menyangka bahwa jalan hidup Saulus berubah di tengah jalan menuju ke Damsyik. Dalam perjalanan ke kota itu, tanpa diduga Tuhan Yesus menampakkan diri kepadanya. Saulus dihempaskan ke tanah, dikelilingi oleh cahaya, dan mendengar suara berkata: “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” Jawab Saulus: “Siapakah Engkau, Tuhan?” Kata-Nya: “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” (Kis. 9:4-5).

Setelah berjumpa dengan Tuhan Yesus di jalan menuju ke Damsyik itu, cara berpikir maupun cara hidup Saulus berubah secara radikal seratus delapan puluh derajat. Dari yang tadinya sangat benci kepada Yesus, ia berubah menjadi pengikut-Nya; dari penganiaya umat Kristen (lih. Gal. 1:13, 23; Flp. 3:6; 1 Kor. 15:9) menjadi seorang pewarta Injil; dari seorang Saulus menjadi Rasul Paulus (setelah Kis. 13:9, nama Paulus secara konsisten digunakan sebagai ganti nama Saulus) yang luar biasa.

Paulus adalah pribadi yang baru, yakni pribadi yang cara berpikir maupun cara hidupnya telah diubah oleh Tuhan. Dalam suratnya kepada umat di Galatia, ia menegaskan bahwa sekarang tugasnya adalah menjadi rasul, duta Yesus Kristus:

“Dari Paulus, seorang rasul, bukan karena manusia, juga bukan oleh seorang manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah, Bapa, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, dan dari semua saudara yang ada bersama-sama dengan aku, kepada jemaat-jemaat di Galatia: kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita, untuk melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini, menurut kehendak Allah dan Bapa kita. Bagi-Nyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin” (Gal. 1:1-5).

Itulah Paulus, yang dulunya akrab disapa Saulus. Ia memiliki masa lalu yang tak baik untuk ditiru. Ia sendiri sudah menceritakan semua pengalamannya kepada kita. Ia mengakui bahwa dirinya telah menangkap dan menganiaya para penganut ‘Jalan Tuhan’ hingga akhirnya ia sendiri berada di ‘Jalan Tuhan’, jalan yang dulu sangat dibencinya itu.

Lantas, bagaimana dengan kita? Mungkin masa lalu kita tidak sesuram Paulus. Kita tidak membenci Tuhan, kita juga tidak menganiaya umat-Nya. Hanya saja barangkali kita tidak sungguh-sungguh berada di Jalan Tuhan; sebab kita terlalu sibuk mencari jalan sendiri. Kita sering merasa tidak ada waktu untuk Tuhan. Hidup menggereja kita kurang.

Tapi, percayalah, Tuhan bisa mengubah hati kita dalam sekejap. Sebagaimana Ia mengubah Saulus yang penuh dengan kebencian menjadi Paulus, seorang pencinta Tuhan, demikian juga Tuhan bisa mengubah kita dari yang tadinya apatis terhadap hidup menggereja menjadi seorang yang setia di Jalan Tuhan. Ingat, tak ada yang tak mungkin jika Tuhan berkehendak. Kita memilih jalan lain, Tuhan mengarahkan kita ke jalan-Nya. Karena itu, mari kita berdoa dan berharap agar Tuhan mengarahkan kita ke jalan-Nya. (JK-IND)

Baca Juga:  Renungan KS Misa Hari Minggu Biasa XXIV, 12 September 2021