Kebangkitan Nasional dan Sumbangsih Nyata Sebagai Anak Bangsa
Umat Allah sekalian, para pastor, suster, bruder, frater terkasih, Salam sejahtera, salam sehat bagi Anda sekalian,
Sebagai bangsa yang besar, kita baru saja merayakan HUT ke-113 Kebangkitan Nasional yang mengusung tema “Bangkit! Kita Bangsa yang Tangguh”. Tema ini dirilis oleh Kominfo sekaligus hendak mengajak kita semua sebagai anak-anak bangsa untuk selalu mengobarkan semangat Kebangkitan Nasional dengan menularkan sikap optimistis dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Sementara itu sudah setahun lamanya kita bergumul dalam pusaran pandemi Covid-19. Disadari atau tidak, pandemi ini telah merubah cara dan gaya hidup masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai.
I. Relevansi Nilai-Nilai Kebangkitan Nasional di Era Milenial
Generasi Z dan generasi milenial sangat dikenal erat dengan dunia medsos dan platform online lainnya. Terlebih lagi di masa pandemi ini, jumlah orang yang terjun bebas ke dalam beragam platform online yang tersedia mendadak membludak dan tak dapat dibendung lagi.
Berdasarkan data BPS 2020, jumlah generasi Z mencapai angka 75,49 juta jiwa. Sedangkan jumlah generasi milenial pada tahun yang sama telah menembus angka 69,90 juta jiwa. Mengingat jumlah total penduduk Indonesia telah mencapai 270,2 juta jiwa, angka-angka tersebut adalah angka-angka yang fantastis! Generasi Z adalah penduduk yang lahir dalam kurun waktu 1997 hingga 2012; sedangkan generasi milenial lahir pada rentang waktu 1981 hingga 1996. Kedua generasi ini tumbuh dan berkembang seiring kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat. Mereka dengan mudah membiasakan diri dengan internet dan berbagai hal yang disediakan di dalamnya. Dalam memanfaatkan internet, baik generasi Z maupun generasi milenial memiliki keunikan tersendiri sesuai dengan kepribadian mereka masing-masing dan aktivitas dalam memanfaatkan medsos sebagai salah satu wahana utama mereka dalam aktualisasi diri berhadapan dengan sesama dan lingkungan di sekitarnya.
Tentu ada di antara pembaca VENTIMIGLIA versi digital ini yang pernah menyimak salah satu tayangan video TikTok yang viral. Di sana ada seorang pemuda yang melakukan wawancara singkat dengan beberapa anak usia sekolah dasar dan menanyakan apa kepanjangan singkatan “SD”.
Mereka yang menempuh pendidikan SD di era 80-an atau 90-an, tentu tidak sulit menjawab pertanyaan tersebut. Namun untuk anak-anak era digital, kepanjangan dari akronim “SD” ternyata menjadi persoalan tersendiri. Ada yang menjawab SD kepanjangan dari Sekolah Dihapus, ada pula yang menjawab Sekolah Duduk; namun ada juga siswa yang sekedar menjawab dengan menyebutkan nama sekolah atau di kelas berapa dia duduk tanpa menjawab pertanyaan pokok yang dilontarkan kepadanya.
Berkaca pada kejadian kecil itu, tidaklah aneh bila anak-anak saat ini pun tidak lagi terlampau mengenal sejarah perjuangan bangsa ini. Mungkin mereka lebih akrab dengan artis-artis Korea Black Pink atau BTS daripada para pahlawan bangsa ini. Kiranya kondisi ini tidak sekedar menjadi keprihatinan bersama, namun hendaknya sungguh kita jadikan bahan refleksi sekaligus sarana untuk mengoreksi diri dengan menjawab sebuah pertanyaan sederhana, “Sebagai orang tua atau sebagai pendidik di sekolah, apakah kita sudah memperkenalkan atau mengajarkan kepada anak-anak kita nilai-nilai kepahlawanan dan makna kebangkitan bangsa itu?”
Seratus tiga belas tahun silam, perhimpunan “Budi Utomo” (Boedi Oetomo) telah meletakkan dasar-dasar kebangkitan nasional bagi bangsa kita. Tiga hal pokok yang dicita-citakan Budi Utomo adalah: 1) Memperjuangkan kemerdekaan demi kemanusiaan; 2) Memajukan nusa dan bangsa; dan 3) Mewujudkan kehidupan bangsa yang terhormat dan bermartabat di kancah dunia. Singkatnya sejak awal “kebangkitan nasional” bertujuan untuk memerdekakan rakyat menuju masyarakat adil, makmur, sejahtera, lepas dari segala belenggu dan kendala. Sutomo, seorang pelajar Sekolah Kedokteran Jawa yang dikenal dengan nama STOVIA (School tot Opleiding van Inlandische Artsen) adalah salah seorang penggagas lahirnya Budi Utomo itu. Dia seorang pemuda asli Nganjuk, Jawa Timur lahir pada tanggal 30 Juli 1888 dengan nama asli Subroto.
Berdirinya Budi Utomo sebenarnya atas saran Dokter Wahidin Sudirohusodo. Beliau adalah seorang dokter dermawan yang suka bergaul dengan rakyat jelata pada zaman itu. Kebiasaan suka bergaul dengan rakyat sekarang ini secara populer kita sebut “blusukan”. Semangat Dokter Wahidin begitu membara dan berkobar-kobar sedemikan sehingga dia melakukan berbagai usaha untuk dikemudian hari bisa membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Pemikiran beliau itu, di zaman sekarang kita kenal dengan istilah “kemerdekaan”. Kala itu Dokter Wahidin berinisiatif mengumpulkan dana untuk mencerdaskan rakyat jelata yang tidak mempunyai peluang untuk mengenyam pendidikan. Maka lahirlah Studie Fonds alias dana pendidikan. Tujuannya sudah jelas dan pasti yaitu untuk membuka wawasan dan pemikiran rakyat agar tergugah dan punya tekad untuk berjuang bersama mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi.
Sutomo dan kawan-kawan seperjuangannya pada awalnya hanya berniat untuk mendirikan sebuah organisasi pelajar yang bisa dijadikan sarana memajukan pendidikan dan pengajaran; dengan beragam aktivitas yang kebanyakan bersifat sosial. Organisasi yang mereka dirikan juga bukan organisasi politik, sebab organisasi sejenis itu sangat dilarang oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Gunawan Mangunkusumo dipercaya sebagai sekretaris organisasi yang baru lahir itu. Berkat kepiawaiannya dalam berkomunikasi, keberadaan Budi Utomo kemudian menjadi kelompok yang begitu disegani baik oleh kawan maupun lawan. Nama “Budi Utomo” diambil dari bahasa Sanskerta, yaitu bodhi atau budhi yang bermakna keberbukaan, kesadaran, akal, atau pengadilan. Dan pada masa itu ruang gerak organisasi ini masih terbatas di daratan Jawa dan Madura.
Sebagai organisasi pelajar STOVIA, “Budi Utomo” di zaman itu selalu dimata-matai oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan juga oleh para bangsawan Jawa, penguasa birokrasi pada masa itu, yang melakukan tindakan kong-kalikong dengan penjajah. Pada waktu itu belum ada medsos dan internet, maka Budi Utomo hanya memanfaatkan majalah stensilan yang terbit bulanan. Majalah itu diberi nama “Goeroe Desa” yang tujuannya ialah untuk memajukan kaum Bumiputera di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.
Para pelajar STOVIA itu adalah anak muda usia antara 14-15 tahun. Mereka merupakan murid-murid yang berprestasi di sekolah tingkatan sebelumnya. Mereka kebanyakan berasal bukan dari keluarga bangsawan atau ningrat, melainkan anak kaum priyayi rendahan. Tanggal kelahiran Boedi Oetomo yang dirayakan setiap tanggal 20 Mei dalam tahun diangkat oleh pemerintah RI sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Hari itu merupakan penanda sejarah lahirnya kesadaran untuk membebaskan bangsa tertindas dari segala belenggu dan kendala.
Paham dan semangat kebangkitan itu lebih dipertegas dengan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Lahirnya secara resmi negara dan bangsa Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejak itu negara Republik Indonesia di bawah pemerintahan presiden Soekarno melintasi lautan sejarah melalui beberapa babak dalam rangka mewujudkan cita-cita pemerdekaan dan pembebasan. Tantangan pertama adalah perang untuk mempertahankan kemerdekaan (1945-1950). Babak berikutnya ialah mengisi kemerdekaan dengan sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi parlementer (1950-1959) disertai berbagai tantangan dan kesulitan. Menyusul sistem pemerintahan demokrasi terpimpin masih di bawah pemerintahan presiden Soekarno (1959-1966). Fase berikutnya di bawah rezim orde baru berbaju “demokrasi Pancasila” pimpinan presiden Soeharto negara ini selama 32 tahun (1966-1998) cita-cita pemerdekaan dan pembebasan itu dikemas dalam semangat kepemimpinan otoriter. Sesudah lengsernya presiden Soeharto pada Mei 1998 kita memasuki era reformasi (1998 sampai sekarang).
Rezim demi rezim berganti, pemerintahan yang satu digantikan oleh pemerintahan berikutnya, tetapi yang tetap terngiang dalam telinga setiap anak bangsa ialah pekik awal kebangkitan nasional menuju masyarakat sejahtera, adil, makmur, damai, bersesama seluruh bangsa dan setiap warga di setiap jengkal wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke dari Rote sampai Miangas. Cita-cita itu masih jauh dari tercapai. Namun alat untuk sampai ke sana tetaplah sama yakni cinta akan rakyat, bangsa, negara dan tanah air sehingga bersama-sama tanpa mengecualikan satu pihak, kelompok atau golongan kita semakin menyadari dan menghayati cita-cita kebangkitan nasional satu nusa, satu bangsa, satu tanah air. Secara demikianlah kita generasi zaman now melanjutkan mengembangkan dan membuahi cita-cita luhur perintis kebangkitan nasional yang dimulai oleh Budi Utomo.
II. Waspada Pandemi Gelombang Berikutnya
Per 25 Mei 2021, total kasus Covid-19 di negara India yang saat ini menduduki urutan teratas dunia yaitu sebanyak 26.298.874 kasus, dan tercatat sebanyak 307.231 orang dinyatakan meninggal dunia. Data total kasus Covid-19 pada hari yang sama di seluruh dunia adalah 167.243.444 kasus, dengan 3.465.348 kasus kematian. Dengan demikian apa yang sedang terjadi di India saat ini, menjadi duka kita bersama yang juga masih berjuang mengatasi pandemi di negeri kita ini. Berkaca dari apa yang dialami India, maka saya mengimbau kepada seluruh umat Katolik di Keuskupan Banjarmasin agar senantiasa waspada dan tetap menaati imbauan pemerintah dengan menjalankan protokol kesehatan secara ketat di manapun Anda berada dan tinggal. Mengenakan masker di tempat-tempat umum, menjauhi kerumunan, rajin-rajin mencuci tangan, dan tetap menjaga jarak secara disiplin, adalah serangkaian ikhtiar yang harus terus-menerus kita jalankan tanpa kompromi.
Jika sebagian dari anggota masyarakat kita sudah mulai kendor melakukan semua itu, maka di situlah peran kita sebagai umat beriman untuk terus konsisten menjadi promotor dan teladan bagi sesama. Bila Anda dapat menjaga diri dari penularan virus Covid-19 ini, maka Anda pun sudah melakukan perjuangan terbaik untuk melindungi keluarga Anda masing-masing. Kalau semua komponen masyarakat kita dapat mengusahakan perlindungan maksimal – minimal bagi dirinya masing-masing terlebih dahulu; maka pintu harapan untuk dapat segera keluar dari pandemi ini kian terbuka lebar.
Mari bersama-sama menahan diri untuk tidak bepergian ke tempat-tempat yang jauh atau mengunjungi sanak saudara atau handai taulan di kota yang berbeda, demi ikut serta membantu pemerintah mencegah penyebaran virus Covid-19 ini. Tidak mudah memang, namun sebagai umat dan pengikut setia Kristus, tanggung jawab ini harus kita laksanakan dengan senang dan sepenuh hati.
Seperti yang kerap didengungkan oleh pemerintah, keberhasilan penanggulangan pandemi Covid-19 ini juga menuntut peran serta kita semua. Mari kita dukung segala usaha dan jerih lelah yang telah diupayakan oleh pemerintah setempat. Tentu sudah menjadi kerinduan semua warga masyarakat untuk dapat segera terbebas dari cengkeraman pandemi yang sudah berlangsung setahun terakhir.
III. Menjadi Saksi Injil yang Hidup
Bapa Suci Paus Emeritus Benediktus XVI pernah berujar bahwa tugas memberikan kesaksian tentang Injil di era digital ini menuntut setiap dari kita untuk secara istimewa memiliki kepekaan terhadap aspek pesan yang dapat menantang cara berpikir khas internet. “Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa kebenaran yang ingin kita bagikan bukan berasal dari nilai ‘popularitas’ nya atau jumlah perhatian yang diterima. Kita harus berusaha memperkenalkannya secara utuh, bukan sekadar supaya dapat diterima atau sebaliknya malah melemahkannya. Ia harus menjadi makanan harian dan bukannya daya tarik sesaat.” Jika diwartakan dalam dunia internet, maka Injil harus terjelma dalam dunia nyata dan berkaitan dengan wajah riil saudara dan saudari kita; mereka yang dengannya kita berbagi keseharian hidup kita. Hubungan manusiawi yang langsung tetap menjadi fundamental bagi pemakluman iman.
Tentu harus menjadi perhatian bersama bahwasannya di era digital ini banyak orang-orang yang justru memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi bukan untuk mengkomunikasikan kebaikan, melainkan sebagai sarana menjatuhkan sesama; sehingga jarak antar pribadi bukan semakin dekat, tetapi kian menjauh. Dalam kondisi itu, efektivitas komunikasi yang seharusnya mengarah kepada hal-hal positif, terkadang menjadi bahasa komunikasi yang mubazir dan dipenuhi percakapan basa-basi. Intimitas yang dirasakan dalam komunikasi melalui perjumpaan langsung, kini makin terkikis dengan keinginan setiap pribadi memanfaatkan zaman digital sebagai bentuk “perjumpaan utama.”
Patut kita sadari sepenuhnya bahwa kita “bukanlah produk digitalisasi”. Maka jadikanlah kemudahan di zaman digital ini sebagai sarana yang membuat kita semakin manusiawi, yaitu dengan memanusiakan diri dan orang lain dalam dialog dan ungkapan penuh kasih. Jika pemahaman ini kemudian kita kaitkan dengan semangat Kebangkitan Nasional dan usaha-usaha penanggulangan pandemi Covid-19; maka kita pun dapat ikut serta berperan secara pro-aktif di dalamnya. Seperti yang kita ketahui bersama, di tengah situasi pandemi saat ini, ternyata masih ada orang-orang atau pihak-pihak yang tega menyebarkan hoaks dan beragam informasi yang pada intinya hendak mengacau-balaukan situasi dan kondisi masyarakat kita, pun di tengah himpitan bencana yang masih datang silih berganti menerjang berbagai wilayah di negeri ini.
Sebagai anak bangsa yang sungguh mencintai bangsa ini, mari kita satukan tekad untuk berani berkata “tidak” pada segala jenis hoaks, ujaran kebencian, dan berbagai bentuk penyalahgunaan ruang digital yang tersedia. Mari kita hindari segala hal yang bertujuan mencederai semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan demikian, literasi dan pendidikan nilai sangat diperlukan untuk mengatasi situasi dan berbagai fenomena yang terjadi di dunia kita akhir-akhir ini. Dan semua itu dapat kita mulai dari diri dan keluarga kita masing-masing.
IV. Penutup
Di bagian akhir sapaan singkat ini, saya hendak mengutip apa yang baru-baru ini disampaikan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus pada peringatan Hari Komunikasi Sedunia ke-55 tahun 2021 yang mengambil tema: “Datang dan Lihat”. Kata “Datang dan lihat” adalah inti dari Injil. Sebelum Injil diberitakan, sebelum kata-kata, disampaikan, ada pandangan, kesaksian, pengalaman, pertemuan dan kedekatan singkatnya, ada “hidup”. Kata-kata yang dikutip dari Injil Yohanes (1,43-46) dipilih oleh Bapa Suci, dengan judul “Berkomunikasi, bertemu orang-orang sebagaimana dan di mana mereka berada”. Dalam pesan tersebut Bapa Suci diantaranya berujar demikian, “Dalam perubahan zaman yang kita alami, di masa yang mengharuskan kita menempuh jarak sosial akibat pandemi, komunikasi dapat memungkinkan kedekatan yang diperlukan untuk mengenali apa yang esensial, dan untuk benar-benar memahami makna sesuatu.
Kami tidak tahu kebenaran jika kami tidak mengalaminya, jika kami tidak bertemu orang, jika kami tidak berpartisipasi dalam suka dan duka mereka. Pepatah lama mengatakan ”Tuhan bertemu dengan Anda di mana pun Anda berada “dapat menjadi panduan bagi mereka yang terlibat dalam pekerjaan media atau komunikasi di Gereja. Dalam panggilan para murid pertama, bersama Yesus yang pergi menemui mereka dan mengundang mereka untuk mengikuti Dia, kita juga melihat undangan untuk menggunakan semua media, dalam segala bentuknya, untuk menjangkau orang-orang sebagaimana adanya dan di mana mereka tinggal. ”