Mahalnya Harga Kerukunan di Kalimantan Selatan
“There will be no peace among the nations without peace among the religions. There will be no peace among the religions without dialogue among the religions” perkataan dari Hans Kung seorang teolog Katolik ini sedemikian populernya, hingga seringkali mudah dikutip oleh siapa saja dalam forum –forum pertemuan antar agama. Semua tokoh agama akan mengamini kutipan tersebut. Namun dialog seperti apa dimaksudkan oleh Hans Kung, yang benar-benar dapat menciptakan kedamaian antar orang-orang beragama?
Bertempat di aula Sasana Bhakti Komplek Gereja Katolik Hati Yesus Yang Maha Kudus, jalan Veteran, Banjarmasin. Selasa, 28 Juni 2022 telah diadakan Silaturahmi dan Dialog dalam rangka menampung aspirasi Gereja Katolik Keuskupan Banjarmasin. Kegiatan yang berlangsung mulai pagi hingga tengah hari tersebut merupakan salah satu program kerja rutin Forum Kerukunan Umat Beragama ( FKUB) Provinsi Kalimantan Selatan bersama seluruh Majelis Agama yang ada di Kalimantan selatan. Kali ini giliran permintaan FKUB untuk bersilaturahmi dan melaksanakan dialog langsung dengan pihak Gereja Katolik Keuskupan Banjarmasin.
Di pagi hari yang sempat diwarnai turunnya hujan, tidak mengurangi animo kehadiran peserta dan hangatnya dialog. Kegiatan diikuti kurang lebih empat puluh orang, ada yang mewakili para pengurus FKUB Kalimantan selatan, termasuk Ilham Masykuri Hamdi selaku ketua FKUB Kalsel. Selain itu juga dihadiri peserta dari Keuskupan Banjarmasin yang menjadi tuan rumah acara. Tidak hanya Uskup Petrus Bodeng Timang dan para Imam dari berbagai Paroki di keuskupan Banjarmasin, tetapi juga turut diikuti pengurus Bidang HAAK ( Hubungan Agama dan Antar Kepercayaan) Keuskupan Banjarmasin dan seksi terkait di Paroki dekenat kota Banjarmasin. Hadir juga para biarawati, Ibu-Ibu paroki Veteran dan utusan Ormas Katolik seperti WKRI, PMKRI dan Pemuda Katolik.
Setelah bersama menyanyikan lagu Indonesia Raya, forum dialog ini dibuka dengan pengantar singkat dari Reddy Mountana selaku perwakilan Keuskupan Banjarmasin di FKUB Provinsi, yang menekankan kepada seluruh peserta dari Keuskupan agar secara terbuka, dapat langsung menyampaikan segala permasalahan yang ada melalui forum dialog ini, termasuk juga hal-hal yang selama ini menjadi sumber problem dalam hubungan antar Agama di Kalimantan Selatan. Selanjutnya sesepuh PMKRI di Banjarmasin ini, mempersilakan Ilham Masykuri Hamdi selaku Ketua FKUB, Bayani Sekretaris FKUB dan juga Uskup Petrus Timang untuk memimpin forum dialog ini. Sebelumnya diperkenalkan juga Nasrulah utusan PWNU kalsel, sekaligus ketua bidang penyerapan aspirasi umat beragama di FKUB, yang menangani kegiatan ini.
Memulai jalannya dialog ini, Ketua FKUB yang juga dosen pengampu mata kuliah Tasawuf Sufisme di UIN Antasari, menyampaikan kepada seluruh peserta yang hadir bagaimana merajut dan menggalang kehidupan antar Umat beragama agar selalu rukun dan damai. Sebagaimana digambarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Keberadaan Indonesia yang kuat seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa adalah Indonesia yang didasarkan semangat Bhineka Tunggal Ika, semangat kemajemukan dengan bangsa yang plural. Untuk itulah penting adanya dialog dalam keragaman ini, sambil mengutip pendapat Hans kung, “ tidak ada kedamaian bila tanpa dialog antar agama.” Karena hakikatnya agama hadir untuk kedamaian dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Selanjutnya Ia menambahkan contoh sebagaimana para Sufi dahulu sangat toleran, berani berdialog dengan orang lain yang berbeda keyakinan dengan tujuan setelah itu dapat memperkaya wawasan beragamanya. Ilham juga mengungkapkan ketertarikannya dengan ensiklik-ensiklik Katolik seperti Laudato Si. Menurutnya ensiklik yang mengangkat persoalan ekologi ini penting diketahui semua orang, tak hanya oleh orang Katolik saja.
Selain hal tersebut dalam konteks Kalimantan selatan, Ketua FKUB juga menyebutkan rendahnya Indeks kerukunan daerah ini. Dari 34 Provinsi di Indonesia, Kalsel hanya setingkat lebih tinggi daripada Provinsi Aceh diurutan paling bawah. Menurutnya ada empat persoalan utama yang dihadapi saat ini ;
- Bagaimana toleransi berjalan di akar rumput?,
- Mengenai kesetaraan dalam memandang perbedaan Etnik dan Agama di masyarakat.
- Bagaimana memaksimalkan kerjasama antar umat beragama.
- Persoalan-persoalan terkait moderasi beragama.
Bapa Uskup Petrus Bodeng Timang memberikan tambahan masukan kepada peserta dialog. Terkait dengan kutipan perkataan Imam dan Teolog Katolik Hans Kung,” No peace without dialog between religions”, menurut Bapa Uskup yang dimaksudkan bukanlah Agamanya, tetapi antar orang- orang beragama itu sendiri. Menurutnya Agama diturunkan oleh Yang Maha Kuasa sudah sempurna, tetapi ketika turun ke wadah insani manusia,kadang-kadang bisa begitu kerdil, wadah itu begitu rapuh berlubang yang masih perlu dijembatani untuk mengerti pemahaman Ilahi itu.
Mengenai Indeks kerukunan di Kalimantan Selatan, Bapa uskup mengharapkan para pemimpin umat beragama dapat mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat, supaya kita dapat sepakat mengenai siapa kita ini, kemana kita akan menuju dan bagaimana cara kita dapat sampai ke tujuan bersama itu. Tantangan yang besar saat ini bukan mustahil untuk dihadapi, karena pada dasarnya kita orang Indonesia adalah bangsa yang cerdas secara intelektual, tidak kalah dengan bangsa lainnya, yang diperlukan adalah kemauan bekerjasama, saling menerima dan saling menghargai.
Setelah mendengarkan masukan dari Ketua FKUB dan Bapa Uskup, acara Dialog masuk pada sesi mendengarkan aspirasi dari peserta yang hadir. Perwakilan dari Paroki Kotabaru Romo Allparis Freanggono Pr, menyampaikan betapa mahalnya harga kerukunan ini, terkait apa yang dialaminya untuk memindah sekolah TK saja, hingga tiga belas tahun masih belum bisa mendapatkan ijin. Bahkan terbersit pertanyaan apa kesalahan dari TK ini? Dari pertanyaan kecil itu, Ia mencoba mencari tahu, lebih mengenal dan berkomunikasi dengan RT, RW dan para Pejabat disana. Bahkan dari Pejabat tersebut ada yang menyarankan untuk menempuh jalur hukum dengan keyakinan pasti menang di ranah hukum ini. Namun kembali lagi muncul pertanyaan apakah setelah memenangkan hukum dan mendapatkan rekomendasi ijin, kita harus kehilangan persaudaraan dengan orang-orang di sekitar, karena ada yang diposisikan kalah secara hukum? Maka harapan adanya kerukunan itu tidak akan dapat terwujud, karena bisa saja ada warga yang kemudian akan mengumpat karena tidak rela akan kekalahan di ranah hukum. Dapat dibayangkan betapa mahalnya harga sebuah kerukunan itu.
Dari utusan DPD WKRI, Tati menyampaikan berdasarkan apa yang dirasakannya, bahwa kerukunan itu masih terlihat di level atas saja, sementara di akar rumput masalah ini belum selesai. Ia menceritakan pengalamannya di salah satu grup WA Panti kesejahteraan anak, grup yang semestinya untuk berkomunikasi mengenai aktivitas kegiatan sosial kemasyarakatan, acapkali muncul pula pembicaraan yang menyinggung agama lain. “Bahkan sampai ada yang keluar dari grup itu akibat ketidaknyamanan atas pembicaraan yang muncul tersebut”, tandasnya. Satu usulan Tati kepada pihak FKUB agar lebih sering juga melaksanakan sosialisasi terkait kerukunan ini hingga ke akar rumput masyarakat.
Cukup banyak masukan aspirasi lainnya, mengenai kondisi dan permasalahan yang dialami umat Katolik dari yang disampaikan para imam paroki dan peserta lainnya, namun karena waktu yang membatasinya, memasuki tengah hari, forum silaturahmi sekaligus dialog ini diakhiri. Dengan harapan banyaknya masukan ini, dapat disampaikan sebagai rekomendasi dari FKUB kepada Pejabat yang memiliki wewenang agar dapat menghasilkan perbaikan dalam membangun relasi kerukunan antar umat beragama di Kalimantan Selatan.