Media Digital: Berkat atau Kutuk?
Saudara-Saudari umat Katolik se-Keuskupan Banjarmasin yang dikasihi Tuhan, Selamat Paskah 2021, salam sehat selalu!
1. Media Digital
Munculnya gawai digital (digital devices) sebagai media komunikasi baru melalui perangkat komunikasi elektronik telah mengubah secara mendasar komunikasi manusia zaman now. Tidak perlu lagi menulis berita panjang di kertas atau percakapan lama melalui telpon. Cukup “hanya” dengan sentuhan jari melalui telpon pintar, seseorang dapat menjangkau praktis siapa saja di muka bumi ini. Informasi apa saja yang dikehendaki atau dibutuhkannya dapat diperoleh melalui “mbah atau profesor” Google. Luar biasa pencapaian akal budi manusia dengan hadirnya cara berkomunikasi yang baru itu.
Sedemikian itu, semuanya “sungguh amat baik” (Kej 1:31) dan patut dibanggakan serta disyukuri. Manusia sebagai makhluk ciptaan tertinggi yang diciptakan menurut “gambar dan rupa” Allah Tritunggal (Kej 1:27) melaksanakan secara semestinya amanat penciptaan yaitu “berkuasa atas seluruh bumi” (Kej 1:26). Orang yang tinggal berjauhan atau berdekatan dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi satu sama lain dengan cara sangat dakat. Buku-buku dengan segala ilmu yang termuat didalamnya “dihadirkan” kepada pembaca dan dapat “diperolehnya” di ruang kerjanya dalam hitungan detik pula.
Di lain pihak sebagaimana dialami di negeri ini selama beberapa tahun terakhir, melalui gawai digital itu pula dengan sangat mudah muncul berita bohong (hoaxes), berita palsu (fake news) dan ujaran kebencian (hate speeches). “Berita bohong dan palsu itu kemudian diproduksi secara masif dan disebarluaskan di dunia maya atau ruang siber dan kemudian menjadi informasi publik yang dipertukarkan. Karena itu mempelajari apa dan bagaimana beroperasinya berita bohong, berita palsu dan ujaran kebencian serta motif- motif yang mendasari produksinya menjadi penting dan relevan” (Prof. Heru Nugroho, “Media Baru dan Kerentanan Jagat Politik”, dalam: Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, Kebohongan di Dunia Maya, Demokrasi Teori dan Praktik-Praktiknya di Indonesia, Jakarta, 2018: VIII)
2. Pertumbuhan Media Digital
Peredaran konten negatif di dunia maya atau ruang siber semakin marak dan memperihantikan. Hoax atau berita bohong, berita palsu atau fake news dan ujaran kebencian atau hate speech dan konten negatif lainnya, misalnya pornografi, tindak kekerasan fisik dan lainnya semakin dijejalkan kepada warga tanpa pandang bulu melalui berbagai media sosial. Kementerian Komuninasi dan Informatika Republik Indonesia melalui harian KOMPAS (01/02/2018) menyebutkan bahwa konten negatif pada tahun 2017 meningkat 900 persen (900 %) dibandingkan tahun 2016. Peningkatan yang fantastis dan meresahkan. (Budi Gunawan & Barito
Mulyo Ratmono: XIII). Maka pemerintah dan warga masyarakat baik sebagai kelompok atau individu pengguna gawai digital (gadget) yang terhubung dalam media sosial bukanlah pihak yang secara pasif saja menerima konten negatif itu.
Mereka adalah pelaku aktif yang seharusnya kritis terhadap sajian media sosial yang mereka gunakan. Mereka bukanlah pihak yang begitu saja serta merta malah menjadi pengembang biak dan penyebar hoax dan konten negatif lainnya. Mereka harus bersikap kritis, cerdas memilah mana isi yang menyebarkan kebaikan dan membangun kebersamaan dan persaudaraan yang membuahkan kedamaian dan kesejukan, mana yang sifatnya merusak, membangkitkan perselisihan dan permusuhan dan kebencian yang berujung kepada kehancuran tertib hidup bermasyarakat yang santun, bersesama dan bersaudara. Sikap dan tindak positif massa kritis (critical mass) itu akan memutus mata rantai pergerakan konten negatif di media sosial dan mencegah penyebarannya.
Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2016 setengahdarijumlahpendudukIndonesia telah terhubung dengan internet. Dari total 256,2 juta orang penduduk Indonesia, sebanyak 132,7 juta orang adalah pengguna aktif internet. Jumlah itu menunjukkan kenaikan sebanyak 51,8% jumlah pengguna internet pada tahun 2014. Pada tahun 2014 jumlah pengguna internet di Indonesia hanya 88 juta orang. Sementara itu, menurut survei agensi pemasaran sosial yang berbasis di Singapura, We are Social pada bulan Januari 2017, penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 51%. Lonjakan jumlah pengguna internet di Indonesia itu tampaknya didukung oleh konsumsi teknologi media baru seperti telepon pintar (smart phone) dan komputer genggam (tablet) yang meningkat dari tahun ke tahun (Budi Gunawan & Barito Mulyo Ratmoko:15-16).
Maka untuk menghadang sirkulasi hoax, berita palsu, ujaran kebencian dan konten negatif lainnya di dunia maya, mutlak dibutuhkan massa kritis di tengah masyarakat. Salah satu langkah konkrit yang dapat ditempuh ialah dengan mengembangkan literasi media, khususnya berkaitan dengan media baru. Langkah itu harus dimulai oleh kekuatan masyarakat sipil yang independen seperti Gereja. Maka tepat dan sangat relevan Ventimiglia Digital No. 58 Edisi April 2021 mengupas dan menunjukkan seluk beluk Dunia Digital saat ini dan ke depan.
3. Literasi Media
Bapa Suci Paus Benediktus XVI, dalam menyambut Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-42, 4 Mei 2008 menyampaikan suatu pesan kepada dunia dengan judul, “Media Komunikasi Sosial: Pada Persimpangan antara Pengakuan Diri dan Pelayanan; Mencari Kebenaran untuk Berbagi Dengan Orang Lain”. Dalam pesan itu Paus mengapresiasi perkembangan teknologi yang meroket yang berjasa dalam memampukan media secara luar biasa untuk membawa pertanyaan dan persoalan baru yang tidak pernah dibayangkan sampai sekarang. Beliau mengakui sumbangsih yang diberikan oleh media dalam hal penyiaran berita, pengetahuan tentang peristiwa dan penyebaran informasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Di lain pihak Paus menegaskan pula bahwa media bukanlah semata- mata untuk menjadi sarana penyebaran gagasan. Media dapat dan harus juga menjadi sarana pelayanan bagi terciptanyarasa setiakawan dankeadilan bagi dunia. Pada kenyataanya “media” berubah menjadi sistem yang bertujuan mendorong manusia untuk menyerah kepada agenda yang didiktekan oleh kepentingan – kepentingan pihak yang memegang tampuk kekuasaan sekarang ini, di bidang politik, ekonomi, media dan lainnya. Tak heran, media seringkali menawarkan dan mendesakkan kepada masyarakat pengguna media model-model pribadi, keluarga dan kehidupan sosial yang menyimpang. Termasuk model-model pembangunan yang bukannya memperkecil tetapi malah memperbesar jurang teknologi antara negara-negara kaya dan miskin. Sementara itu tanpa ragu-ragu memperagakan berbagai pelanggaran dengan kekerasan, dengan cara-cara tidak sopan tanpa etika.
Merujuk Ensiklik beliau, Spe Salvi, Harapan Yang Menyelamatkan, Vatikan 30 November 2007, Paus Benediktus XVI mengingatkan tentang makna ganda kemajuan sekarang ini termasuk media digital. Di satu pihak memberikan kemungkinan baru untuk kebaikan, tetapi pada pihak lain membuka peluang begitu besar untuk hal-hal jahat yang tidak pernah ada sebelumnya (Spe Salvi n. 22). Maka seharusnya semua pegiat media digital, penyedia maupun pemakai tidak membiarkan media itu dipakai untuk kemajuan diri sendiri atau menyerahkannya ke tangan pihak- pihak yang memanipulasi kesadaran manusia. Harus dipastikan bahwa media komunikasi dalam bentuk apa pun tetap mengemban misi untuk pelayanan pribadi dan kebaikan bersama. Media komunikasi haruslah membantu setiap pribadi dan manusia seluruhnya untuk mengembangkan “formasi etis dan pertumbuhan batin manusia”.
Semakin jelas bahwa pengaruh media terhadap kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok semakin dalam dan menyeluruh. Media tidak lagi hanya menghadirkan kenyataan tetapi menciptakan dan menentukannya. Dengan kekuatan dan daya mempengaruhi itu, media merambah masuk ke dalam berbagai matra kehidupan manusia: moral, intelektual, religius, relasional, afektif, kultural dan lainnya. Nilai manusia dipertaruhkan. Paus Benedictus menekankan bahwa “tidak semua yang dimungkinkan secara teknis juga diperbolehkan secara etis”.
Kehadiran media sosial dalam kehidupan modern mendatangkan berbagai pertanyaan yang tak dapat dielakkan dan pertanyaan itu menuntut pilihan dan jalan keluar yang tak dapat ditunda” (Pesan, n.3). Seperti ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya, media sosial juga memberikan banyak kemudahan kepada manusia. Tetapi manusia yang hanya mengandalkan diri sendiri dan ilmu hasil ciptaannya ada dalam pengharapan yang keliru. Kemampuan dan segala produk pengetahuan manusia tetaplah terbatas. Bila tidak diresapi oleh kasih yang sejati dan tidak dipergunakan dengan benar, pengetahuan justru dapat menghancurkan manusia (Spe Salvi, n. 25).
Hanya Allah sajayang dapat menjadi harapan manusia, Dia meliputi seluruh realitas, memberikan apa yang tak dapat manusia peroleh dengan kemampuan sendiri. Allah adalah landasan segala harapan. Dia bukanlah Allah abstrak, yang tidak terjangkau. Dia ada beserta kita, Dia hadir di mana pun Ia dikasihi dan dimanapun kasih-Nya menjangkau kita. Hanya kasih-Nyalah yang memberi kita kemampuan untuk bertahan dalam segala pergulatan hidup. “Tidak seorang pun dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan kubangkitkan pada akhir zaman” (Yoh 6:44).
Media sosial seharusnya membawa manusia kepada kebenaran yang memerdekakan dalam segala matra kehidupannya. Hanya dalam Yesuslah ada kebenaran yang memerdekakan itu.
“Jikalau kamu tetap dalam firman- Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:31-32).
Kristuslah kebenaran yang memerdekakan. Hanya Dialah yang dapat memberikan jawaban utuh terhadap kehausan manusia akan kehidupan dan kasih. Setiap orang yang sudah menemukan Dia dan dengan senang hati menerima pewartaan-Nya, berkeinginan untuk membagikan dan mengkomunikasikan kebenaran itu kepada orang lain. (Pesan no. 6 bdk, Yoh 1:1-4).
4. Bermula dalam keluarga
a. Ecclesia Domestica
Keluarga Katolik adalah Ecclesia Domestica, Gereja Rumah Tangga, terdiri dari anggota-anggota yang saling mengasihi; kasih hadir, memberkati dan menyempurnakan kasih anggota- anggota keluarga. Dalam dan bersama Kristus keluarga itu bertumbuh dalam saling asa, asih dan asuh, sehingga dari padanya muncul dan berkembang suburlah rasa saling kepercayaan dan kepedulian satu sama lain. Buahnya adalah sukacita. Sukacita karena kasih yang dialami oleh keluarga- keluarga adalah sukacita Gereja pula (Paus Fransiskus, Ajakan Apostolik, Amoris Laetitia, Sukacita Kasih, Vatikan, 19 Maret 2016, nr. 1).
Benarlah penegasan Paus Santo Yohanes Paulus II, dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio, Tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, bahwa “keluarga adalah sekolah kemanusiaan” (FC, nr. 21) dan “sel pertama dan vital masyarakat” (FC, nr. 42). Keluarga adalah sekolah kemanusiaan dan rumah kekudusan, tempat seorang anak belajar tentang apa yang benar, baik, indah dan suci yang wajib dilaksanakan dan mengenal yang jahat yang harusdihindari dan dijauhkan. Keluarga mengajarkan kepada anggota-anggotanya mana jalan hidup “menurut Roh” dan “menurut daging”.
Rasul Paulus mengingatkan, “Buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23). Sebaliknya “perbuatan daging yaitu: percabulan, kecemaran hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora..” (Gal 5:19-21)
Keluarga dipanggil menjadi komunitas belas kasih tempat setiap anggota mengalami belas kasih Allah yang murah hati dan maharahim. Sebagai rumah kekudusan keluarga adalah tempat anggota-anggota untuk “mengetahui, memahami, menghayati dan mewujutnyatakan” kebaikan serta menjauhi, memerangi, mengalahkan kejahatan (bdk. Arah Dasar KEBAN 2015-2024).
Keluarga bagi setiap anggota adalah haven, pelabuhan tempat berteduh, sesudah lelah dari bekerja dan tempat untuk memperjuangkan dan mengembangkan kehidupan. Keluarga pertama-tama adalah home, di dalamnya setiap anggota merasa aman dan nyaman tinggal dan hidup. Di atas segala-galanya keluarga seharusnya menjadi heaven, surga tempat setiap anggota mengalami dan memperoleh kedamaian serta kasih yang saling dibagikan dan diwujudkan.
b. “Nemo dat quod non habet”
Dalam lingkungan para pegiat filsafat ada ujaran Nemo dat quod non habet yang artinya kurang lebih “Seseorang tak dapat memberikan (kepada orang lain) apa yang tak ada padanya”. Kembali kepada masalah literasi media (dan tentang hal lain juga) dalam keluarga, jelaslah bahwa sangat dibutuhkan adanya pembelajaran dan kecerdasan dalam keluarga terkait penggunaan alat–alat komunikasi digital dan dari beragam isi yang ditawarkannya konten mana yang pantas diakses. Perlu dibangun disiplin pribadi dalam keluarga yang berlaku bagi, ayah, ibu, anak-anak dan anggota lainnya perihal kapan dan berapa jam dalam sehari diperuntukkan penggunaan media sosial. Harus ada pula ketegasan dan pembatasan menyangkut konten yang boleh diakses. Dalam 2 hal itu harus ada regulasi yang tegas dan jelas (kalau perlu dengan sanksi terhadap pelanggaran atasnya) mengenai kapan alat-alat digital itu “dipegang” dan apa isi yang boleh dibuka. Regulasi itu berlaku pertama-tama bagi orang tua dan anggota keluarga yang sudah dewasa sebagai teladan bagi anggota yang lebih muda. Diskresi, kedewasaan dalam memilah-milah mana yang baik, penting dan mendesak untuk dipilih dan dilaksanakan perlu terus dikembangkan dalam keluarga. Bukan melalui nasehat–nasehat saleh, bukan pula dengan ancaman-ancaman sanksi melainkan dengan contoh dan keteladanan.
Orang Romawi kuno ratusan tahun yang lalu sebelum masehi telah mengenal ungkapan Verba movent,exempla trahunt, kata-kata menggugah (perasaan), contoh teladan mendorong untuk bertindak (dalam bahasa Belanda, woorden wekken, voorbeelden trekken). Sesungguhnya warga masyarakat, terutama keluarga, mau tak mau, suka tidak suka, senang tidak senang harus berani dan mampu beradaptasi dalam menghadapi perkembangan yang begitu pesat dari waktu ke waktu dalam dunia digital. Barang siapa tidak mau atau tidak siap dia bukan saja akan ditinggalkan melainkan bahkan akan dilindas hancur. Seperti banjir bandang yang pada awal tahun 2021 ini memporak-porandakan Kalimantan Selatan tanpa pandang bulu dan tanpa hambatan apa pun.
Semoga nyala api Roh Kudus yang membakar hati para murid Yesus pada hari raya Pentakosta terus menyalakan api itu dalam setiap keluarga kristiani dewasa ini sehingga dengan penuh syukur, berani dan hati terbuka, menyambut perkembangan dalam dunia digital sebagai kairos, saat keselamatan dari Allah Pencipta dan Pemberi segala yang baik. Semoga dengan demikian pula bersama para Rasul, di dalam dan melalui keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas, kita boleh bersaksi kepada semua orang khususnya generasi mendatang bahwa “…kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikurniakan Allah kepada semua orang yang menaati Dia” (Kis 5:32).
Selamat menyongsong Hari Raya Kenaikan Tuhan, 13 Mei 2021 dan Hari Raya Pentakosta, 23 Mei 2021.
Salam sejahtera bagi Anda sekalian, Allah adalah Kasih, Deus Caritas Est.
Banjarmasin, 25 April 2021 Pada Hari Minggu Paskah ke-4,
Hari Minggu Yesus Gembala yang Baik, Minggu Panggilan, Pesta Santo Markus Penginjil
Mgr. Petrus Boddeng Timang Uskup Keuskupan Banjarmasin