Suster-Suster ALMA mengantar dan menjemput anak-anak Muara Napu untuk belajar

Membangun Umat Perdana di Muara Napu

Setelah satu tahun menjalani karya pastoral di Stasi Mandam, Suster-Suster ALMA merasa perlu untuk melebarkan sayap mencari wilayah pelayanan yang belum dijangkau. Akses jalan perkebunan sawit yang rusak, belum diaspal, berlumpur jika musim hujan dan berdebu jika musim kemarau, tak menghalangi langkah Suster Rinche ALMA, Suster Yuni ALMA dan Bapak Yohanes Rusdiansyah untuk berkunjung dan menyapa masyarakat di Muara Napu pada 19 September 2013.

Awalnya mereka mengunjungi keluarga dari Bapak Yohanes yang  tinggal di Muara Napu yang bernama Bapak Lala. Penerimaan yang hangat dari keluarga Bapak Lala ini semakin menyemangati Suster-Suster ALMA untuk berkunjung dan menyapa masyarakat Muara Napu secara rutin.

Kehadiran Suster-Suster ALMA  tersebut diterima dengan baik oleh penduduk Muara Napu yang 99% merupakan suku Dayak yang bekerja sebagai petani. Waktu itu di desa Muara Napu hanya ada 1 keluarga Katolik, yaitu keluarga mama Butet, seorang bidan yang berasal dari Medan.

Dalam kunjungan, Suster-Suster ALMA mengajarkan membaca, menulis dan berhitung kepada anak-anak Muara Napu.  Dalam perkembangannya, masyarakat Muara Napu antusias ingin belajar pelajaran agama Katolik.  Situasi ini  mendorong Suster Rinche ALMA untuk meminta izin mengajar agama Katolik  dan beribadat kepada Kepala Desa setempat. Kepala Desa mengizinkan dan bahkan mendukung kegiatan mengajar tersebut dengan memberikan tempat di Balai Desa sementara belum ada tempat ibadat di Muara Napu. Anak-anak yang tempat tinggalnya jauh diantar jemput dengan pick-up oleh Suster-Suster ALMA.

Pada 2 Februari 2014, Gereja Katolik diberikan izin untuk mengadakan Ibadat Sabda di Balai Desa dengan dibantu oleh umat stasi Mandam dan stasi Lalapin. Kunjungan rutin dua kali seminggu pun terus dilakukan.

Baca Juga:  Kebangkitan Nasional dan Generasi Millenial

Beberapa bulan kemudian, para orangtua mulai ada yang tertarik untuk bergabung dalam Gereja Katolik dan bersedia dibina secara Katolik. Tanggapan warga tersebut mendorong para pastor, biarawan-biarawati serta tokoh-tokoh umat di Dekanat Timur untuk mengadakan pertemuan bersama para tokoh-tokoh adat dan pemerintah setempat. Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk memperkenalkan Gereja Katolik secara resmi dan menjalin keakraban.

Suster Mariance, ALMA mengajar anak-anak

 

Menemukan Mutiara Tersembunyi

Sebelum melangkahkan kaki di daerah Muara Napu, banyak cerita yang cukup sering hinggap di telinga Para Suster ALMA. Konon, Muara Napu sangat membahayakan para pendatang baru yang memasuki daerah ini. Para Suster juga mendapat pesan bahwa kalau masuk Muara Napu tidak boleh makan dan minum karena ada racunnya. Cerita yang menakutkan ini membuat Para Suster sempat berpikir untuk mengurungkan niat menyapa masyarakat Muara Napu.

Namun entah kenapa, di tengah gelombang gejolak perasaan takut, cemas, ragu, muncul juga kekuatan, untuk berani mengambil resiko dan tetap bersemangat  melangkahkan kaki ke Muara Napu demi kerajaan Allah. Para Suster memiliki keyakinan bahwa di sana membutuhkan pewartaan Kabar Baik.

Saat itu situasi desa Muara Napu memang cukup menakutkan.  Jarak satu rumah yang satu ke rumah yang lain cukup jauh, Apalagi jalannya berbatu-batu dan licin. Listrik belum masuk. Hal ini jelas membuat desa Muara Napu cukup sulit dijangkau. Apalagi oleh seorang misionaris perempuan yang menggunakan sepeda motor. Secara fisik, cukup melelahkan karena Para Suster belum terbiasa membawa motor pada kondisi jalan yang sulit.

Secara psikis, Para Suster ALMA merasa tertekan karena belum jelas mendapatkan apa yang dicari.  Sementara itu masyarakat yang sering melihat Para Suster lewat, mulai saling bertanya-tanya, apa sih yang dicari para suster ini ? Hal ini dipertanyakan karena dua kali dalam seminggu, para suster terus berkunjung tanpa  mengenal hujan, panas dan dingin.

Baca Juga:  Kebaikan Allah melalui Ayam Bertelur di dalam Gereja

Bagi Suster-Suster ALMA, merintis pewartaan di Muara Napu  saat itu cukup memakan waktu, pikiran, dan tenaga ekstra serta mental yang kuat. Setiap kali kunjungan harus pulang pada malam hari. Bahkan pernah pulang jam 11 malam karena harus menunggu umat yang dikunjungi pulang dari ladangnya. Terkadang untuk menghindari risiko pulang malam, Para Suster menginap di keluarga yang dikunjungi dan kembali ke Malangkaian pagi hari  pukul 05.00.

Setelah beberapa bulan berjuang mengatasi perasaan takut, pesimis, ragu, cemas,  akhirnya pada Malam Paskah 2014 Para Suster ALMA menemukan mutiara tersembunyi yang selama itu dicari.  Saat itu ada 5 KK (17 Jiwa) yang dibaptis di stasi Mandam oleh RP. Jacques Gros, CM.  Mereka menjadi umat perdana yang berasal dari Muara Napu.

Pembaptisan umat perdana Muara Napu di stasi Mandam, 2014

Umat perdana ini cukup aktif dalam kegiatan menggereja walau mereka belum mengerti banyak tentang Katolik. Mereka merasa terpanggil untuk mulai memikirkan pembangunan gereja. Umat yang sudah dibaptis maupun para ketekumen bergotong royong membangun gereja karena selama ini mereka masih menggunakan Balai Desa.

Dengan keterbatasan ekonomi, mereka berjuang membangun tempat ibadat atau gereja untuk tempat ibadat/Ekaristi dan untuk pembinaan-pembinaan sekaligus tempat menginap para petugas pastoral. Mereka bersama Suster ALMA yang bekerjasama dengan 3 paroki di Dekanat Timur untuk mengadakan iuran sesuai kemampuan masing-masing paroki. Dari dana yang terkumpul, dapat dibangun Gereja sederhana berukuran 20mx6m dari papan kayu.  Lahan berukuran 15mx25m disediakan oleh umat yang baru dibaptis, yaitu: Bapak Simon Petrus Jawani. (arsip PDM-KEBAN)