Romo Mangunwijaya, Pr (alm) pernah menuliskan bahwa kehadiran Gereja Katolik di Indonesia terkait erat dengan Tiga M: “Merchant, Military and Missionary” (Perdagangan, Militer dan Pewartaan Injil). Jejak pewartaan Injil  di muka bumi ini tidaklah murni dan tidak lepas bebas dari kekuatan ekonomi dan militer. Ketika bangsa Portugis mengirimkan armada dagangnya, maka di kapal tersebut dikirim juga imam-imam Katolik. Hal ini dilakukan selain untuk kepentingan awak kapal , juga untuk membawa Injil ke daerah-daerah yang disinggahi armada dagang tersebut.

 

Vikariat  Apostolik “Kingdom of Borneo”

Pembukaan jalur perdagangan Portugis di Banjarmasin pada tahun 1688 telah menjadi titik awal Sejarah Keuskupan Banjarmasin. Dengan pembukaan itu, maka  kapal dagang Portugis masuk ke pelabuhan Banjarmasin dengan membawa serta seorang misionaris, Pater Antonino Ventimiglia, dari  Ordo Theatin. Perjumpaan Pater Ventimiglia dengan suku Dayak Ngaju yang datang  dari pedalaman dengan puluhan perahu untuk berdagang telah menimbulkan keinginannya untuk tetap tinggal di tengah-tengah suku dayak Ngaju.  Keinginan itu baru bisa terpenuhi pada kedatangannya yang kedua di Banjarmasin, justru pada saat keadaan sangat tidak menguntungkan dimana terjadi peperangan antara Suku Dayak Ngaju dan Sultan Banjar.

Laporan pembesar misi, Pastor Gallo di Goa kepada Roma menyebutkan bahwa sudah ada 15 suku yang memeluk agama Katolik. Seorang pedagang, Franscico Coutinho yang mengunjungi Pater Antonino Ventimiglia selama 6 minggu di tahun 1690 menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan sudah 1800 orang dibaptis dan anak-anak belajar agama.

Atas permohonan Pater Antonino Ventimiglia yang ditulis dalam surat tertanggal 25 Januari 1691, Raja Portugis menyerahkan misi di seluruh Pulau Kalimantan kepada para misionaris Theatin. Congregatio de Propaganda Fide (komisi yang menangani misi) di Roma telah menyetujui keputusan tersebut hingga pada tanggal 14 Januari 1692 Paus Innocentius XII mengumumkan pembentukan Vikariat Apostolik untuk “Kerajaan Borneo” dan Pater Antonino Ventimiglia diangkat sebagai Vikaris Apostolik yang pertama. Namun pengangkatan ini tidak pernah diterima Pater Antonino Ventimiglia. Diperkirakan ia meninggal dunia pada tahun 1691 tanpa diketahui secara pasti mengenai tanggal dan dalam kedaan bagaimana Pater Antonino Ventimiglia meninggal dunia.

 

Vikariat Apostolik Batavia

Pada tahun-tahun berikutnya, pasca “hilangnya” Pater Antonino Ventimiglia, masih ada usaha untuk mengirim misionaris ke Kalimantan. Namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Beberapa misionaris meninggal di tengah perjalanan, beberapa kekurangan dana, ada pula yang tidak diijinkan oleh Sultan Banjar masuk ke pedalaman, bahkan ada misionaris yang dibunuh bersama para pegikutnya di tengah perjalanan.  Sementara itu, pada abad ke-18, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) mengambil alih perdagangan di Indonesia dari bangsa Portugis dan Spanyol. Selama VOC berkuasa, misi Gereja Katolik di Indonesia terhambat dan hanya misi Kristen Protestan yang diijinkan.

Tahun 1800 VOC bangkrut dan diambil alih oleh Belanda. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengijinkan Gereja Katolik di Indonesia melakukan kegiatan tapi masih dianggap sebagai salah satu bagian dari misi Gereja Katolik di  Belanda.

Pada tahun 1842, dengan dibentuknya Vikariat Apostolik Batavia (Jakarta),  Gereja Katolik di Indonesia tidak lagi dianggap sebagai bagian dari misi Gereja Katolik Belanda. Wilayah yang dilayani saat itu meliputi seluruh Indonesia. Begitu luasnya wilayah yang dilayani mengakibatkan perkembangan Gereja Katolik menjadi lambat karena kekurangan tenaga hingga akhirnya pada tahun 1859, Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. PM Vrancken, meminta bantuan ordo Jesuit.

Baca Juga:  Misa Harian Selasa Pekan Biasa XXVI, 28 September 2021

 

Prefektur Apostolik Borneo Olandese

Dengan kehadiran pastor-pastor dari ordo Jesuit, maka misi di Kalimantan yang hanya sewaktu-waktu dikunjungi pastor, akhirnya mendapat Pastor W.J.Staal, SJ sebagai pastor pertama yang menetap di Kalimantan. Tahun 1885, Pastor Staal membuka stasi Singkawang dan tahun 1890, pastor J. Looymans, SJ yang membantunya membuka stasi Sejiram. Saat itu jumlah umat Katolik di Kalimantan mulai berkembang hingga tahun 1897 kedua pastor itu ditarik untuk melayani di tempat lain. Kedua stasi yang ditinggalkan itu hanya mendapat kunjungan dua kali setahun dari Jawa atau dari Bangka. Itu pun hanya stasi Singkawang saja yang dukunjungi hingga akhirnya  tidak ada bekas karya Jesuit di situ.

Masalah kekurangan tenaga kembali terulang.  Ordo Jesuit tidak sanggup melayani seluruh wilayah Indonesia. Maka pada tanggal 11 Februari  1905, wilayah Borneo (Kalimantan) diserahkan kepada  ordo Kapusin (OFMCap) dan didirikan Prefektur Apostolik Borneo Olandese.  Sejak saat itu, para misionaris Kapusin mulai berkunjung secara teratur ke pelbagai tempat di Kalimantan dan pada tahun 1907 dibuka stasi di Laham. Dalam “turne” ke stasi Laham tersebut, para pastor Kapusin juga mengunjungi berbagai tempat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan seperti: Samarinda, Balikpapan, Tarakan, Banjarmasin, Martapura, Stagen (Pulau Laut), Pelaihari, Kandangan, Sampit, Muara Teweh, Puruk Cahu.

Tahun 1918 Prefektur Apostolik Borneo ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Pontianak.

 

Prefektur Apostolik Banjarmasin

Tiga misionaris MSF pertama di Kalimantan: Pater F.Groot,MSF, Bruder Egidius S.,MSF, Pater J.v.d.Linden, MSF (foto: doc.MSF)

Provinsial Kapusin menganggap karya pelayanan di Kalimantan dan Sumatra terlalu berat hingga melalui surat tertanggal 18 Agustus 1924 mereka mengirim surat kepada Dewan MSF di Grave, Belanda untuk membantu karya mereka di Kalimantan. Awalnya Provinsial Kapusin hanya akan menyerahkan Kalimantan Timur kepada MSF. Namun Dewan Jenderal MSF  meminta melayani Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan juga meskipun saat itu mereka tidak tahu apa-apa tentang Pulau Kalimantan.

Akhirnya pada tanggal 12 Januari 1925 MSF mengambil alih ¾ dari wilayah pelayanan Kapusin di Kalimantan yang terdiri dari Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.  Kalimantan Barat tetap dilayani Kapusin. Pengambilalihan ini terjadi tanpa diketahui oleh Congregasi de Propaganda Fide di Roma dan ini merupakan sebuah “dosa berat” (karena satu-satunya yang berwenang mengatur pembagian wilayah misi adalah Congregasi de Propaganda Fide di Roma).  Namun, dengan sanksi  tidak memberikan gelar “misionarius apostolicus” kepada dua misionaris MSF yang pertama, maka Kardinal Prefek Congregasi de Propaganda Fide  mengampuni “dosa” yang dibuat oleh Kapusin dan MSF.

Tanggal 27 Februari  1926 tiga misionaris MSF tiba di Laham. Pada tahun-tahun berikutnya MSF Belanda mengirimkan lagi para misionarisnya ke Kalimantan. Dengan bantuan tenaga ini maka dibuka stasi-stasi baru seperti: Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, Tarakan, dll hingga pada tahun 1938 sudah ada 10 stasi induk.

Baca Juga:  95 Tahun MSF di Kalimantan dan 25 Tahun Seminari Johaninum di Banjarbaru: BERANI MELAWAN ARUS ZAMAN

Pada tahun 1931 Vikaris Apostolik Pontianak, Mgr. Pac Bos, OFMcap, mengirimkan surat permohonan resmi ke Roma agar Prefektur Apostolik Banjarmasin segera dipersiapkan. Tujuh tahun kemudian, tepatnya 21 Mei 1938 Prefektur Apostolik Banjarmasin didirikan dan Pater J.M.M. Kusters, MSF yang berusia 33 tahun diangkat sebagai Prefek Apostolik yang pertama. Tanggal 19 Oktober 1938, Mgr. J.M.M. Kusters dilantik di gereja Keluarga Kudus Banjarmasin.

Tahun-tahun selama Perang Dunia Kedua, 1942-1945, merupakan tahun yang kelam bagi perkembangan karya pelayanan di Kalimantan. Beberapa misionaris ditangkap, penjarakan, dan bahkan ada yang dibunuh oleh tentara Jepang. Mgr. Kusters, MSF, beberapa pastor dan suster dipaksa melarikan ke Jawa. Umat harus “berjuang sendiri” mengembangkan imannya bagai domba tanpa gembala.

ki-ka: Mgr. Joannes Groen MSF (Vikaris Ap.), Mgr. JMM Kusters MSF (Prefek Ap.), Mgr. W.Demarteau MSF (Uskup), Mgr. FX.Prajasuta MSF (Uskup), Mgr. Petrus B.Timang (Uskup)

Vikariat Apostolik Banjarmasin

Setelah Perang Dunia Kedua, Mgr. Kusters, MSF serta para misionaris kembali ke “ladangnya” dan membangun kembali apa yang telah dirusak selama perang. Gereja-gereja, sekolah-sekolah, poliklinik dan rumah sakit kembali dibangun di beberapa tempat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Pada tanggal 10 Maret 1949 Prefektur Apostolik Banjarmasin ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik. Pada hari yang sama Pastor Joannes Groen, MSF diangkat menjadi Vikaris Apostolik yang pertama dan ditahbiskan pada tanggal 16 Juni 1949 di Belanda. Selama Pastor Joannes Groen, MSF menjadi Vikaris Apostolik, dibuka seminari menengah di Banjarmasin dan karya misi sudah melebar ke daerah pedalaman di Kalimantan Selatan. Namun pada tanggal 18 April 1953, Mgr. Groen, MSF tidak dapat lagi menyaksikan perkembangan misi di Vikariatnya karena pada tanggal tersebut beliau meninggal dunia akibat komplikasi emboli.

 

Pemekaran  Vikariat Apostolik Banjarmasin

Setelah meninggalnya Mgr. J. Groen, MSF, pada tanggal 6 Januari 1954 Congregasi de Propaganda Fide di Roma mengangkat Pater W.J.Demarteau, MSF menjadi Vikaris Apostolik Banjarmasin. Pentahbisan dilaksanakan pada tanggal 5 Mei 1954 di Banjarmasin.

Hal pertama yang dilakukan Mgr. Demarteau, MSF adalah berusaha merealisasikan apa yang sudah diusahakan oleh Mgr. J.Kusters, MSF sebelum perang dan kemudian dilanjutkan oleh Mgr. J.Groen, MSF, yaitu: pemisahan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.  Hal ini berarti pendirian Vikariat baru di Kalimantan Timur. Melalui perundingan dan konsultasi antara Mgr. Demarteau, MSF dan Congretio de Propaganda di Roma, akhirnya pada tanggal 21 Februari 1955 Vikariat Apostolik Samarinda didirikan dan pada tanggal 10 Juli 1955 Pater J.Romeijn, MSF diangkat menjadi Vikaris Apostolik yang pertama.

 

Keuskupan Banjarmasin

Pasca pemekaran, Vikariat Apostolik Banjarmasin menjadi vikariat yang kecil dari sisi jumlah umat, pastor dan stasi. Umat Katolik tinggal sekitar 1700 jiwa dari 5700 jiwa sebelum pemekaran. Pastor yang berkarya tinggal 10 orang dari 32 orang. Jumlah stasi tinggal 5 dari 21 stasi.

Seiring dengan pendirian Hirarki Gereja Indonesia pada tanggal 3 Januari 1961, maka Vikariat Apostolik Banjarmasin ditingkatkan menjadi Keuskupan Banjarmasin dan Mgr. W.J. Demarteau, MSF diangkat menjadi  Uskup pertama bagi Keuskupan Banjarmasin.

Baca Juga:  Ungkapan Cinta kepada Bayi Yesus di Paroki-Paroki

Sementara itu keadaan politik di Indonesia terus bergelora. Ada kelompok-kelompok yang berusaha menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam, ada perselisihan mengenai ideologi Pancasila, perang antara Indonesia dan Belanda soal Irian Jaya, kudeta G30S PKI. Dan yang paling mempengaruhi perkembangan Gereja Katolik terjadi pada tahun 1962-1963 dimana Panglima Suharyo mengirimkan perintah menutup semua kegiatan misi keagamaan yang dipimpin oleh orang-orang asing. Perintah itu mengakibatkan Gereja Katolik kekurangan tenaga misionaris hingga selamakurun waktu sepuluh tahun (1955-1965) hanya empat stasi induk yang didirikan, yaitu: Palangkaraya (1963), Buntok (1965), Pangkalanbun (1965) dan paroki Veteran (1965).

Perubahan iklim politis di Indonesia menuju ke arah yang lebih baik pasca penyerahan kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Jenderal Suharto disusul angin segar yang dihembuskan Konsili Vatikan II di Roma membawa dampak positif bagi perkembangan Gereja di Keuskupan Banjarmasin. Pembaharuan bidang pastorak, katekese dan liturgy mendapat tanggapan positif. Kiriman tenaga misionaris dari luar negeri dan tambahan imam pribumi yang ditahbiskan membawa kegembiraan bagi perkembangan Keuskupan Banjarmasin. Langkah demi langkah Gereja Lokal Kalimantan mulai dibangunkan.

Langkah menuju Gereja Lokal di Keuskupan Banjarmasin semakin mengakar dengan pengangkatan Pastor F.X. Prajasuta, MSF menjadi Uskup Kedua bagi Keuskupan Banjarmasin pada tanggal 6 Juli 1983 menggantikan Mgr. W.J. Demarteau, MSF yang mengundurkan diri setelah 25 tahun berkarya sebagai Uskup. Pentahbisan dilakukan pada tanggal 23 Oktober 1983 di Banjarmasin.

 

Pemekaran Keuskupan Banjarmasin

Dengan semangat “Veni Sancte Spiritus” (Datanglah Roh Kudus) yang menjadi motto tahbisannya, Mgr. F.X.Prajasuta, MSF mulai mengembangkan Keuskupan Banjarmasin dengan membuka beberapa paroki, rumah retret “Sikhar” dan Panti Wreda “Suaka Kasih.” Sejak hari tahbisannya, Mgr F.X. Prajasuta mengembangkan gagasan untuk memerkarkan wilayah Keuskupan menjadi dua bagian, yaitu Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Gagasan tersebut mendapat tanggapan dari Roma hingga pada tanggal 5 April 1993 didirikan Keuskupan Palangkaraya oleh Roma dan Pastor Yulius Aloysius Husin, MSF ditahbiskan menjadi Uskup Keuskupan Palangkaraya pada tanggal 17 Oktober 1993.

Pasca pemekaran kedua tersebut, Keuskupan Banjarmasin makin “kecil” dengan 7 paroki dan imam yang berkarya tinggal 11 orang. Kardinal J.Darmaatmaja pada pesta syukur tahbisan Uskup Keuskupan Palangkaraya mengatakan bahwa Keuskupan Banjarmasin telah melahirkan anak yang lebih besar dari induk. Sementara itu pada kesempatan yang sama Mgr. Demarteau, MSF mengungkapkan kegembiraannya karena telah menjadi “bidan” dari Keuskupan Banjarmasin.

 

Menuju Gereja Yang Berdialog, Inklusif dan Transformatif

Setelah 25 tahun menjadi Uskup, Mgr. F.X.Prajasuta MSF mengajukan permohonan pengunduran diri  ke Roma. Pengunduran diri ini dikabulkan oleh Roma dan pada tanggal 14 Juni 2008 diangkat seorang pastor diosesan Keuskupan Agung Makasar, Pastor Petrus Boddeng Timang menjadi Uskup Keuskupan Banjarmasin yang ketiga. Tahbisan dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 2008.

Motto “Deus Caritas Est” senantiasa menjadi “roh” bagi karya Mgr. Petrus Timang di keuskupan Banjarmasin. Dengan keyakinan bahwa Allah mengasihi semua orang maka dikembangkan dialog-dialog lintas iman. Menyadari bahwa Gereja merupakan bagian dari masyakat Indonesia yang pluralistik, maka Gereja Lokal Keuskupan Banjarmasin harus mampu menata sekaligus menempatkan dirinya dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (smr)

Sumber: Wikipedia, arsip MSF, arsip Keuskupan Banjarmasin