Umat Allah sekalian, para imam, Suster, Bruder, Frater yang dikasihi Allah,

Salam sejahtera bagi Anda sekalian.

  1. Sudah tujuh belas bulan lamanya Indonesia diterpa pandemi Covid-19. Upaya keras untuk mengatasi pandemi itu dilakukan oleh Pemerintah dari pusat sampai ke daerah dalam kerja sama dengan berbagai elemen non pemerintah dalam dan luar negeri. Namun akhir pandemi itu masih tetap jadi harapan masyarakat. Pada awal tahun 2021 negeri kita masih harus menghadapi juga berbagai bencana ekologis seperti gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, tanah longsor, angin badai dan lainnya. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari tanggal 1-16 Januari 2021 saja sudah terjadi 136 bencana. Termasuk paling banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kalimantan Selatan tidak luput dari bencana itu. Bahkan pada saat ini pun dampaknya masih sangat terasa oleh masyarakat penyintas, antara lain mereka yang rumahnya rusak masih tinggal di hunian sementara (huntara). Fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadat, perkantoran pemerintah, jalanan belum juga terpulihkan. Ditambah dengan kesulitan dan penyakit lainnya, lengkaplah penderitaan masyarakat yang kebanyakan adalah rakyat kecil.

 Kenyataan itu mengajarkan kepada kita bahwa menuding penyebab bencana, mengadili pihak yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa itu tidak mengatasi masalah. Malahan boleh jadi semakin menambah duka dan memperdalam luka yang diakibatkan bencana itu. Mengeluh dan saling mempersalahkan dalam situasi penderitaan masyarakat yang terdampak tidaklah relevan, malah membuang-buang waktu dan energi secara tak bermanfaat. Bahkan merusak daya tahan dan kohesi masyarakat dalam menghadapi berbagai akibat bencana itu sendiri.

Menggalang kebersamaan sesama anak bangsa untuk meringankan beban saudara-saudara yang terdampak itulah salah satu solusi. Keuskupan Banjarmasin (KEBAN) melalui Caritas Banjarmasin dan paroki-paroki sejak awal pandemi, bahkan sejak tahun 2019, berupaya keras mewujudnyatakan Ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si, Dokumen Abu Dhabi, Human Fraternity (Persaudaraan Manusia) dan Fratelli Tutti. Bekerjasama dengan Pemerintah setempat dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya seperti LK3, Gusdurian, Gereja KEBAN langsung terjun ke lokasi bencana untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak tanpa membeda-bedakan. Mulai dari menyiapkan makanan siap santap, pakaian layak pakai sampai membangun hunian sementara (huntara), instalasi air bersih dan tindakan-tindakan kemanusiaan lainnya.

Perbedaan keyakinan agama, suku dan latar belakang lainnya tidak menghalangi manusia siapa pun juga untuk hidup bersaudara dan bersesama. Tembok-tembok pemisah yang terbangun antar sesama manusia, antar suku/bangsa, kelompok-kelompok agama karena alasan apa pun, dengan demikian diatasi. Dengan demikian kita menemukan pula apa yang kita butuhkan untuk hidup sebagai saudara-saudari yang saling mengasihi (bdk. Luk 10:25-37, Orang Samaria yang murah hati).

Kepedihan akibat pandemi Covid-19 dan beban berat karena bencana alam memampukan kita untuk mengalami suatu kelahiran baru dengan semua wajahnya, dan merobohkan benteng-benteng pertahanan yang kita bangun selama ini (Paus Fransiskus, Fratelli Tutti, no. 35). Manusia dipanggil bukan untuk membangun dinding-dinding perselisihan dan sekat-sekat perpecahan melainkan jembatan-jembatan persaudaraan.

  1. Pemerintah pada berbagai tingkatan dari pusat sampai daerah sedang berupaya keras dan disibukkan dengan penanganan pandemi Covid-19 dan dampak pasca bencana alam. Pada saat bersamaan Kalimantan Selatan, seluruh pulau Kalimantan dan Sumatera sudah mulai lagi diintip ancaman lain yang muncul setiap tahun yaitu kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Bila tidak diantisipasi dan ditanggulangi secara cepat dan tepat, bencana ini juga berpotensi berdampak masif bagi kesehatan, lingkungan dan ekonomi. Dampak itu dirasakan bukan hanya oleh masyarakat setempat melainkan “diekspor” juga ke negara-negara tetangga dengan akibat lanjutan menimbulkan ketegangan regional antara negara tetangga tersebut dan negara kita. Maka penanganan perlu dilaksanakan sedini dan secermat mungkin agar dampaknya tidak menambah beban derita masyarakat yang terkena. Semua pemangku kepentingan, pemerintah daerah dan pusat, TNI-POLRI, manggala agni/Pemadam kebakaran, BNPBN/ BNPBD dan masyarakat sendiri perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Pengalaman hampir setiap tahun memperlihatkan bahwa dampak dan kerugian yang diakibatkannya secara ekologis maupun ekonomis, tidaklah sedikit.
Baca Juga:  Pater Aba, MSC: Teladan para Martir dan Kebanggaan sebagai Pengikut Kristus

 Pengalaman manusia menghadapi berbagai fenomena alam sampai saat ini memaksa manusia untuk mengakui keterbatasan bahkan ketakberdayaan dirinya. Hal itu dengan sangat gamblang diutarakan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si (Vatikan 15 Mei 2015). Merujuk kepada pesan-pesan pendahulunya, Paus Benediktus XVI, beliau menulis:

Oleh karena itu ‘kerusakan alam sangat terkait dengan budaya yang membentuk koeksistensi manusia’. Paus Benediktus telah meminta kita untuk meyakini bahwa lingkungan alam telah rusak parah oleh perilaku kita yang tidak bertanggung jawab. Lingkungan sosial juga mengalami kerusakan. Keduanya akhirnya karena kejahatan yang sama: gagasan bahwa tidak ada kebenaran yang tak terbantahkan untuk menuntun hidup kita, dan bahwa karena itu kebebasan manusia tak terbatas. Kita telah melupakan bahwa ‘manusia bukan hanya kebebasan yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri. Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri. Dia adalah roh dan kehendak, tetapi juga kodrat’. Dengan kepedulian kebapaan, Benediktus mendesak kita untuk menyadari bahwa dunia ciptaan dirugikan ‘dimana kita sendiri memiliki kata akhir, dimana semuanya hanya milik kita, yang kita gunakan untuk diri kita sendiri saja. Penyalahgunaan ciptaan dimulai ketika kita tidak lagi menyadari hal yang lebih tinggi dari pada diri kita sendiri, ketika kita tidak melihat apa pun kecuali diri kita sendiri’” (Paus Fransiskus, Laudato Si, no.6).

  1. Mengamati secara sekilas keadaan dunia sekarang ini, dengan berkaca pada dua ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si dan Fratelli Tutti, kita sampai kepada tokoh sejarah dunia dan kemanusiaan, Santo Fransiskus Assisi (1181-1226).

Saya tidak ingin menulis ensiklik ini tanpa kembali kepada contoh yang menarik dan mampu memotivasi kita. Namanya saya ambil sebagai panduan dan inspirasi ketika saya terpilih sebagai Uskup Roma. Saya percaya bahwa Santo Fransiskus adalah contoh unggul dalam melindungi yang rentan dan dalam suatu ekologi integral, yang dihayati dengan gembira dan autentik. Dia adalah santo pelindung semua orang yang mempelajari dan bekerja di bidang ekologi dan ia juga sangat dicintai oleh orang non-kristiani. Dia telah menunjukkan kepedulian khusus terhadap ciptaan Allah dan kaum miskin serta mereka yang tersisihkan. Dia mengasihi dan sangat dikasihi karena kegembiraannya, pemberian dirinya yang murah hati, dan keterbukaan hatinya. Dia menunjukkan kepada kita betapa tak terpisahkan ikatan antara kepedulian akan alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat dan kedamaian batin” (Paus Fransiskus, Laudato Si, no.10).

Dengan alasan apa Santo Fransiskus dipandang sebagai pelindung ekologi dan pembawa spirit persaudaraan dan perdamaian? Pertanyaan itu perlu dijawab secara tepat. Maklumlah, dunia kita saat ini mengalami aneka krisis kemanusiaan dan ekologis. Di satu pihak, lingkungan hidup kita, dan karenanya hidup itu sendiri, terancam karena semakin meningkatnya kemampuan manusia untuk mengontrol alam secara masif dengan teknologi yang semakin canggih. Sementara itu eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber alam dengan teknologi yang canggih itu adalah demi keuntungan finansial melulu (profit oriented). Kenyataan itu pada gilirannya melahirkan masalah kemanusiaan yang besar terutama pengangguran dan ketidak adilan sosial. Dari padanya lahirlah secara tak terhindarkan dalam komunitas manusia mekanisme “saling menyingkirkan”. Berlakulah hukum alam survival of the fittest, hanya pihak yang paling kuat bertahan hidup. Keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat  mau tak mau terganggu dan lama kelamaan hancur. Hukum keras itu seakan-akan berlaku dengan sendirinya, secara otomatis. Masyarakat yang tujuan hidupnya hanya mencari keuntungan (materiil) belaka, mengidentikan hidupnya dengan memiliki (to have) bukan keberadaan itu sendiri (to be). Santo Fransiskus menawarkan arah sebaliknya, memperjuangakan keadilan dan perdamaian, bersaudara dengan semua orang, bersaudara dengan alam sebagai sesama ciptaan.

  1. Pengalaman spiritual Santo Fransiskus, tegasnya pertobatannya, menjadi titik awal perjalanannya menjadi pembawa perdamaian kepada dunia. Dia tidak dilahirkan sebagai manusia pencipta damai bagi dunia dan penyayang kehidupan sesama makhluk ciptaan. Cara hidupnya yang baru itu muncul dari pertobatan yang mendalam. Sebagai orang muda ia hidup dalam kemewahan anak seorang pedagang kain yang kaya. Dalam dirinya hidup suatu ambisi dan impian tinggi menjadi orang besar, sebagai kesatria bahkan pengeran. Dia bermimpi menaklukkan dunia.
Baca Juga:  Misa Harian Kamis Pekan Biasa XIX, 12 Agustus 2021

Dari permenungan selama mengalami sakit berkepanjangan, ia menyadari kehampaan hidupnya. Dia merasa semua sia-sia: kekayaan, kehormatan dan kekuasaan. Di dalam pencarian terus-menerus tentang apa yang dikehendaki Allah dari dirinya, akhirnya dia sampai kepada kesimpulan, Kristus tersalib yang memancarkan kedamaian, memberikan kepada dirinya hidup dan kelimpahan wahyu kasih Allah. Dalam kemanusiaan Kristus dan pemberian diri-Nya, Fransiskus menemukan jalan kerahiman Allah yang dengannya Allah menjumpai manusia. Pertobatan itu merupakan keterbukaan baru terhadap sesama dan dunia yang didorong bukan lagi oleh ambisi, dan keinginan untuk pamer diri dan menang. Karena mengalami belas kasih Allah, Fransiskus beralih dari keinginan untuk mengalahkan dan menguasai ke sikap senasib-sepenanggungan dan persekutuan. Ia tidak lagi mau lebih tinggi dari yang lain dan menguasai mereka. Ia mau bersama dan bersaudara dengan semua terutama mereka yang terbuang. Ia tidak lagi berambisi menguasai dunia. Dia menerima dunia, bersekutu dengan segala makhluk hidup. Dengan demikian ia mau menyerupai Kristus, bersaudara dengan semua orang khusunya yang dina dan paling miskin.

Ia berubah menjadi manusia baru dengan cara berelasi baru karena perjumpaan dengan Kristus tanda belas kasih Allah. Ia tampil bukan sebagai penakluk tetapi sahabat yang kemana pun membawa damai. Ia mengubah permusuhan menjadi persaudaraan dan kesatuan ciptaan. Ia membangun damai, pencipta kesatuan antara mahkluk ciptaan dengan cara bersekutu dengan semua dalam kerendahan hati yang luar biasa. Pengalaman mendalam dengan Allah yang maharahim dalam Kristus, memperbaharui relasinya dengan sesama ciptaan dengan kualitas yang baru, unggul dan luhur.

  1. Saya ingin menawarkan kepada umat kristiani suatu kerangka spiritualitas ekologis yang berakar dalam keyakinan iman kita, karena apa yang diajarkan Injil kepada kita memiliki konsekuensi terhadap cara berpikir, berperasaan dan hidup. Yang penting bukanlah berbicara tentang ide-ide, tetapi terutama tentang motivasi yang lahir dari spiritualitas untuk menumbuhkan semangat pelestarian dunia. Kita harus meyakini bahwa kita, umat kristiani, tidak selalu menyerap dan mengembangkan kekayaan yang diberikan Allah kepada Gereja, dimana kehidupan rohani tidak terpisah dari tubuh kita sendiri atau dari alam, atau dari realitas dunia ini. Tetapi justru dihayati bersamanya dan di dalamnya, dalam persekutuan dengan semua yang mengasihi kita” (Paus Fransiskus, Laudato Si, no. 216). Gereja, keuskupan, paroki, stasi, komunitas, keluarga setiap pribadi anggota Gereja, murid-murid Yesus seperti Fransiskus Assisi harus mengalami pertobatan ekologis. Hanya dengan cara itu kita dapat ikut serta dalam penciptaan baru saat terbentuknya “langit yang baru dan bumi yang baru” (Why 21:1).
Baca Juga:  “Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik” (Mzm 118:1)

Arah Dasar Keuskupan Banjarmasin (2015-2022, hal.18-23) dalam misinya merumuskan tanggung jawab dan tugas perutusan Gereja Partikular Keuskupan Banjarmasin Kalimantan Selatan sebagai berikut: Meningkatkan solidaritas dan belarasa umat Allah dengan sesama dan lingkungan (butir 6) dan mengakarkan Gereja pada masyarakat asli Kalimantan Selatan  (butir 7). Meneladani orang Samaria yang bermurah hati (Luk 10: 25-37) umat katolik Keuskupan Banjarmasin terpanggil untuk meningkatkan solidaritas dan belarasa terutama kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan berkebutuhan khusus. Sementara itu sebagai bagian tak terpisahkan masyarakat Kalimantan Selatan umat/Gereja Keuskupan Banjarmasin dipanggil dan diutus untuk HADIR secara penuh, 100% katolik, 100% Indonesia, sebagai warga Kalimantan Selatan, melibatkan diri dan berperan aktip dalam membangun masyarakat asli Kalimantan Selatan (Arah Dasar, Misi 6 dan 7, hlm. 22-23). Semuanya beralaskan iman akan Yesus Kristus. In Christo totus, In Christo tutus, (seluruhnya dalam Kristus, dalam Kristus semuanya aman).

“Setelah pada zaman dahulu Allah berulangkali dan berbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (Ibr 1: 1-2).

Berawal dari Kristus, berakhir pada Kristus dan berpusat dalam Kristus.

Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,  karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.

 Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya. Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit” (Kol 1: 15-23).

 

Tuhan Yesus memberkati, Allah adalah kasih, Deus Caritas Est.

 

 

Diberikan di Banjarmasin,

Pada Pesta Santa Marta,

Tanggal 29 Juli  2021

Petrus Boddeng Timang

Uskup Keuskupan Banjarmasin