RP. Florentinus Hersemedi CM: Panggilan adalah Gerakan Bersama
Romo Florentinus Hersemedi CM atau yang akrab disapa sebagai Romo Her belum setahun diutus di Keuskupan Banjarmasin. Sejak September 2020, ia ditugaskan sebagai Formator di Seminari Menengah Santo Petrus, Keuskupan Banjarmasin, yang pada tahun 2021 ini memasuki tahun kedua. Di tengah kesibukannya mengatur para seminaris yang baru datang di Seminari, Romo Her berkenan berbincang dengan Crew Ventimiglia seputar perjalanan panggilan dan tugas perutusan yang telah dilakoni serta buah-buah refleksi dalam perjalanan hidupnya.
Bisakah Romo ceritakan sedikit tentang keluarga Romo?
Saya lahir di Madiun, 27 Oktober 1970. Anak pertama dari empat bersaudara. Bapak saya guru dan ibu saya, ibu rumah tangga. Bapak saya menjadi Katolik ketika sekolah di sekolah Katolik. Sedangkan ibu karena menikah dengan bapak.
Tahun 1973, Bapak dan Ibu pindah ke Magetan karena Bapak harus mengajar di sekolah di Magetan. Tapi saya tetap tinggal bersama kakek dan nenek di Madiun sebagai sandera…hahaha… karena kakek dan nenek saya sebetulnya keberatan Ibu saya pindah ke luar kota. Tahun 1976, saya “diculik” oleh orangtua saya dari nenek (kakek sudah meninggal tahun 1975) dan tinggal bersama mereka di Magetan.
Bagaimana Romo mengenal kekatolikan?
Waktu bersama kakek dan nenek, saya tidak pernah diajari tentang kekatolikan karena mereka bukan Katolik. Tapi meski masih kecil, saya sadar bahwa saya Katolik. Ketika ada teman yang mengejek saya dengan mengatakan, “Orang Katolik itu nanti kalau mati disalib,” maka spontan teman saya yang mengejek itu langsung saya ajak berkelahi.
Setelah tinggal bersama orangtua, saya mulai diajak ke gereja dan ikut Sekolah Minggu (sekarang Bina Iman Anak). Saya juga sering diajak Bapak ikut kegiatan-kegiatan di sekolah tempat Bapak mengajar. Kalau di rumah, tidak ada kebiasaan berdoa bersama.
Waktu itu tiap Malam Minggu, murid-murid Bapak, sekitar 40 orang datang ke rumah kami untuk mengikuti pembinaan agama Katolik yang dipimpin oleh mahasiswa Akademi Kateketik. Murid-murid Bapak itu tidak semuanya Katolik. Tapi mereka mau ikut dalam pembinaan tersebut. Mungkin mereka kagum dan tertarik dengan para mahasiswa yang bisa bermain gitar, menyanyi dan mengadakan aneka kegiatan. Memang akhirnya ada beberapa di antara mereka yang menjadi Katolik.
Lalu, bagaimana akhirnya ada ketertarikan menjadi Pastor?
Ada beberapa hal yang membuat keinginan saya menjadi Pastor itu makin berkembang. Awalnya, setelah komuni pertama saya ikut sebagai anggota misdinar. Ini membawa saya menjadi dekat dengan pastor-pastor CM.
Keinginan ini makin berkembang dengan beberapa komentar dari guru dan orang-orang di lingkungan saya yang mengatakan bahwa saya cocok jadi Romo. Komentar ini membuat saya berpikir, “Apa benar saya cocok jadi Romo?”
Selain itu, waktu itu saya senang membaca di perpustakaan sekolah tempat Bapak mengajar. Salah satu buku yang hampir tidak pernah dibaca di sekolah itu adalah Majalah Seminari Garum. Tapi justru saya senang membaca majalah-majalah tersebut, terutama tentang kisah-kisah panggilan para seminaris. Ini membuat saya kagum dan tertarik untuk menekuni panggilan.
Ketertarikan ini makin berkembang ketika mengalami situasi di stasi saya yang jarang mendapat kunjungan atau misa dari Romo. Misa hanya sebulan sekali, selebihnya ibadat yang dipimpin oleh katekis. Hal ini membuat saya berkeinginan menjadi imam supaya misa di stasi dapat dilakukan setiap Minggu.
Ketika kelas 3 SMP, saya mengungkapkan keinginan saya untuk masuk Seminari Menengah pada ibu. Ibu tidak secara langsung melarang tapi hanya mengatakan bahwa saya masih terlalu kecil untuk masuk asrama dan diminta masuk setelah lulus SMA. Romo Paroki yang mengetahui keinginan saya ini juga “mengancam” saya bahwa kalau mau masuk seminari, nilainya harus bagus. Minimal 8.
Akhirnya saya bersekolah di SMA. Selama saya duduk di bangku SMA, saya ikut dalam pertemuan kelompok panggilan di paroki yang bernama Kelompok Samuel. Kelompok yang dikoordinir oleh katekis paroki dan beranggotakan remaja dan kaum muda yang tertarik menjadi imam, biarawan dan biarawati ini mengadakan pertemuan sebulan sekali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain kunjungan ke biara-biara, pastoran, seminari, pengajaran, berdoa bersama dan lain-lain. Tempat pertemuan dari rumah ke rumah anggotanya. Waktu itu anggotanya sekitar 20 orang. Kegiatan ini makin memantapkan keinginan saya untuk menjadi imam. Kemudian setelah lulus SMA, saya mendaftar ke Seminari Garum. Ibu sudah tidak bisa melarang lagi.
Adakah pengalaman berkesan selama di Seminari?
Saya sempat kaget ketika masuk Seminari ada pelajaran-pelajaran baru seperti: Bahasa Latin, Kitab Suci, Liturgi, dan lain-lain. Apalagi waktu SMA saya ambil jurusan A2 atau Biologi. Namun akhirnya, saya bisa menyesuaikan diri.
Pengalaman lain yang berkesan adalah pengalaman weekend bagi seminaris kelas 4. Karena tenaga pastoral terbatas, kami dilibatkan untuk mengajar di sekolah tiap Sabtu pagi sampai siang. Sorenya hingga Minggu malam, kami disebar ke stasi-stasi untuk mengajar serta membagi komuni. Waktu itu umat sudah memanggil kami dengan sebutan Frater. Wah, bangganya bukan main dipanggil seperti itu. Ketika mengajar, umat menganggap kami itu tahu segala-galanya. Ini menantang kami untuk terus belajar agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan umat.
Mengapa memilih CM (Congregatio Missionis)?
Awalnya, alasan saya memilih CM karena yang saya kenal adalah Romo-Romo CM. Seminari Garum adalah Seminari Menengah milik Keuskupan Surabaya, tapi Romo-Romo CM dilibatkan juga dalam pengelolaannya. Alasan lain, karena kebanyakan teman-teman saya memilih CM.
Saya baru mengerti spiritualitas CM ketika berpastoral di salah satu stasi di kota Blitar yang umatnya kebanyakan kelompok menengah ke bawah. Pendalaman lebih lanjut soal itu semakin saya dapatkan di Seminari Tinggi CM.
Apakah ada pengalaman yang menggoyahkan panggilan Romo?
Peristiwa sakit merupakan pengalaman yang membuat saya ragu untuk meneruskan panggilan saya menjadi imam. Sejak masuk seminari hingga menjadi imam muda, saya sakit-sakitan. Hanya saat novisiat saja saya tidak sakit.
Tahun pertama masuk Seminari saya sudah mulai sakit-sakitan. Awalnya didiagnosa gejala Hepatitis. Kemudian saya dirawat oleh Suster-Suster PK supaya gejala tersebut tidak menjadi penyakit Hepatitis dan sembuh.
Di Seminari Tinggi, saya sering diserang radang tenggorokan dan bolak-balik dibawa ke dokter. Saat novisiat sudah jarang sakit. Namun selepas itu mulai sering sakit lagi dan bahkan dirawat di rumah sakit karena tipus. Rumah sakit sampai hapal dengan saya karena setiap tahun saya mesti dirawat di sana.
Ketika pastoral kategorial, saya ditugaskan berpastoral bersama para Suster PMY di Wonosobo. Saat itu mereka sedang merintis pastoral pertanian organik. Di situ saya sakit parah dan harus dirawat di sebuah rumah sakit di Parakan. Kemudian saya dijemput Romo Seminari dan dibawa pulang ke Malang. Di Malang pun, saya dirawat di rumah sakit lagi.
Pengalaman sakit terus menerus ini membuat saya berefleksi bahwa segala sesuatu tidak dapat saya lakukan secara maksimal. Saya tidak berani mengerjakan pekerjaan berat, tidak berani ikut olah raga, dan lain-lain. Saya terlalu khawatir jatuh sakit, jika melakukan hal-hal itu. Akhirnya saya mencoba berdamai dan menerima penyakit saya. Setelah itu saya tetap saja sering sakit, tapi cara saya memandang penyakit sudah berbeda. Dan ini membuat beban saya menjadi lebih ringan. Baru pada tahun 2003, saya mulai jarang sakit.
Dimana saja tugas perutusan Romo setelah ditahbiskan menjadi Imam?
Setelah ditahbiskan menjadi imam pada 15 Agustus 2001, saya ditugaskan menjadi Formator di Seminari Menengah Garum hingga tahun 2007. Di sini saya belajar dari nol: membuat laporan keuangan, Bahasa Latin, Kitab Suci, Liturgi, dan seterusnya.
Pengalaman-pengalaman selama di Seminari membuat saya merasa bersyukur, didukung dan dikuatkan dalam panggilan. Dalam tugas-tugas, saya merasa tidak banyak beban, tidak monoton dan bisa belajar serta mengajar hal-hal baru bagi murid-murid Seminari.
Tahun 2007, saya ditugaskan menjadi Pastor Paroki di Bojonegoro. Beberapa orang menyangsikan saya, apakah saya bisa mengurus paroki. Dan waktu masuk paroki, banyak pengurus paroki mengundurkan diri karena terlalu mencintai pastor pendahulu saya dan tidak siap bekerja sama dengan pastor baru. Padahal masa bakti mereka waktu itu masih satu tahun lagi.
Dalam keadaan seperti ini, akhirnya saya menata apa yang bisa ditata seperti: mengajari Bendahara Paroki (yang tidak ikut mengundurkan diri) membuat laporan keuangan, mengatur dan menaikkan gaji karyawan paroki. Karena menaikkan gaji karyawan ini, saya kemudian diprotes teman-teman dari paroki lain karena karyawannya membandingkan gajinya dengan gaji karyawan paroki kami.
Tak lama kemudian, di akhir tahun 2007, Bojonegoro dilanda banjir besar. Peristiwa ini menyatukan umat. Gereja juga menjadi lebih dikenal dan diterima oleh warga masyarakat Bojonegoro. Sumbangan bagi korban banjir melalui Gereja sangat berlimpah. Makanan, bahan makanan dan keperluan lain didistribusikan kepada semua warga masyarakat Keperluan apa saja yang diminta warga dipenuhi. Gereja tidak kebanjiran dan menjadi posko banjir dan tempat pengungsian warga. Dapur umum pun dibuka. Bahkan usai banjir, Gereja juga membantu umat merenovasi rumahnya yang rusak.
Setelah empat tahun menjadi Pastor Paroki Bojonegoro, saya diutus menjadi pastor Paroki Kepanjen, Vikep Surabaya Utara dan pengurus berbagai yayasan. Tahun 2017, saya menjadi Direktur Seminari Tinggi CM. Tahun 2019, saya dipindah lagi untuk menangani rumah retret di Prigen hingga tahun 2020 ditugaskan ke Banjarmasin.
Setelah menangani Seminari yang besar seperti Garum, apakah tidak merasa “dibuang” di Seminari yang baru dibuka seperti di Banjarmasin ini Mo?
Tidak. Dari sisi perutusan, saya selalu taat dan bersyukur kemana saja saya diutus. Saya percaya bahwa pimpinan memiliki pertimbangan yang matang ketika mengutus para imam.
Menurut Romo, hal terpenting apa dalam pembinaan di Seminari?
Di Seminari, para seminaris didampingi untuk mengembangkan dirinya sehingga ketika lulus dari Seminari mereka menjadi orang baik. Melalui pembinaan, mereka diarahkan untuk memiliki tanggung jawab, sopan santun, kepedulian, berani meminta maaf, selalu mengucapkan terima kasih, dan mau meminta tolong.
Tugas terberat bagi para Formator (Pendamping) Seminari adalah memberi teladan. Contohnya, saya meminta para seminaris bersepatu dan menggunakan pakaian berkerah saat misa. Maka saya pun melakukan itu. Demikian juga ketika akan mengajar pada jam tertentu, saya pun harus hadir di kelas paling tidak lima menit sebelumnya.
Apa yang mesti dilakukan umat dan Keuskupan untuk menumbuhkan panggilan?
Pertama, dari keluarga. Perkenalkan anak-anak pada Romo, Suster, Frater, situasi biara maupun pastoran. Ketika berdoa dalam keluarga, selipkan doa untuk para Romo yang dikenal oleh anak. Keluarga yang harmonis akan mendukung tumbuhnya panggilan.
Kedua, komunitas. Komunitas misdinar, Bina Iman Anak dan komunitas lainnya baik kalau mengadakan kunjungan ke pastoran, susteran atau seminari.
Ketiga, dari Pastornya. Pastor hendaknya dekat dengan anak-anak muda agar timbul panggilan. Pendekatan ini perlu dilakukan secara intens. Paroki juga membantu para seminaris dari parokinya jika mereka mengalami kesulitan keuangan.
Kemudian, dari keuskupan sendiri gerakan panggilan ini mesti menjadi gerakan bersama. Paroki dan para pastor paroki ikut memikirkan untuk mengirimkan anak-anak muda untuk mengikuti pembinaan di Seminari. Contoh yang sudah melakukan adalah Paroki Gendang. Paroki Batulicin melakukan “pembibitan” panggilan ini melalui kebiasaan-kebiasaan hidup di asrama. Rencananya Paroki Veteran juga akan membuka asrama seperti ini.
Nah, setelah paroki-paroki mengirimkan anak-anak mudanya masuk Seminari, selanjutnya pembinaan di sini menjadi tanggung jawab kami. (smr/oZo)