RP. Fransiskus Xaverius Daru Pancoro, CICM: “Sehati dan Sejiwa”
-
Romo Daru CICM
Fransiskus Xaverius Daru Pancoro, CICM atau biasa dipanggil Romo Daru sejak pertengahan tahun 2021 ini ditugaskan sebagai Pastor Paroki Santa Theresia Pelaihari. Keinginan menjalani pendidikan di seminari yang sudah ada sejak kecil dan kepatuhan seorang anak kepada orangtua menjadi pergumulan Romo kelahiran Solo, 6 Mei 1965 dalam menapaki panggilan menjadi imam. Kepada kontributor Ventimiglia dari Komsos Paroki Keluarga Kudus Katedral, anak kelima dari enam bersaudara ini mengisahkan perjalanan panjang panggilannya.
Bisakah Romo ceritakan awal ketertarikan Romo menjadi Imam?
Saya lahir dan besar di Solo. Saya bersekolah di SD Kanisius Solo dan melanjutkan di SMP Pangudi Luhur Solo. Waktu SMP itu, saya aktif mengikuti kegiatan misdinar dan koor paroki. Kegiatan-kegiatan yang saya ikuti ini, membuat saya memiliki relasi yang dekat dengan para pastor. Bahkan ketika zaman itu belum dikenal istilah “bapak rohani”, saya sudah mempunyai bapak rohani sekaligus bapak pengakuan saya yaitu Romo Cahyo, MSF. Saya juga kagum dengan kehidupan para pastor MSF di Purwosari-Solo. Inilah yang membuat saya tertarik untuk masuk seminari.
Namun ketika saya berniat mendaftar ke Seminari Menengah Mertoyudan saat lulus SMP, bapak saya sama sekali tidak setuju. Akhirnya saya menjalani pendidikan di SMA. Saat itu saya hanya masuk di SMA Negeri karena biaya sekolah SMA Katolik di Jawa sangat mahal untuk ukuran keluarga kami karena pekerjaan bapak saya adalah polisi.
Ketika SMA, apakah masih ada keinginan menjadi Imam, Romo?
Kekecewaan karena tidak diijinkan masuk seminari, membuat saya tidak semangat belajar. Maka saat SMA saya memilih jurusan IPS yang katanya lebih ‘santai’. Di sisi lain, saya malah makin aktif mengikuti kegiatan-kegiatan OMK.
Lulus SMA, karena keinginan saya masih sangat kuat untuk masuk ke seminari, saya mencoba mendaftar ke KPA (Kelas Persiapan Atas) Seminari Mertoyudan. Namun sekali lagi, bapak saya menolak. Beliau mengatakan bahwa saya harus mencoba ‘enaknya’ menjadi anak kuliahan. Saya pun kemudian mendaftar di UNS Solo (Universitas Negeri Sebelas Maret) dan diterima di FKIP Jurusan Akuntansi.
Walaupun sudah kuliah, setiap tahun saya tetap minta ijin pada bapak untuk masuk seminari dan jawabannya selalu sama, “Tidak.” Beliau bahkan mengatakan, “Kalau kamu sudah bekerja nanti, silakan masuk seminari.” Kata-kata “sudah bekerja” ini membuat saya tidak bersemangat lagi untuk kuliah dan akhirnya memilih segera bekerja. Saya pun melamar dan mendapat pekerjaan sebagai salesman obat di Semarang yaitu di PT Pharos Indonesia.
Setelah bekerja, apakah kemudian diijinkan orangtua untuk masuk seminari?
Saat saya dipindah kerja ke Yogyakarta, saya menulis surat lamaran kepada formator CICM di Makassar yaitu Pastor Gilbert CICM dan saya diterima. Bahkan saya langsung diminta ke Makassar.
Setelah diterima masuk dalam kongregasi CICM, barulah saya meminta izin kepada orangtua saya. Saya ingat, saat makan malam, saya meminta izin untuk masuk biara dengan mengatakan bahwa saya sudah diterima di kongregasi CICM dan minggu depan saya harus pergi ke Makassar. Awalnya ibu saya mengira bahwa saya pindah ke Makassar untuk bekerja. Lalu saya menjelaskan kepada ibu saya bahwa saya sudah harus masuk biara dengan menunjukkan surat lamaran yang sudah diterima. Spontan ibu saya menangis karena dalam bayangannya, masuk biara itu seperti terapis, hanya hidup di dalam biara dan tidak bisa keluar lagi sehingga ibu saya tidak bisa lagi bertemu dengan saya. Sedangkan bapak saya sudah tidak ada alasan lagi untuk menolak saya masuk Seminari.
Mengapa memilih CICM, Romo?
Setelah bekerja, saya mulai mencari informasi tentang kongregasi. Saya berbincang dengan pembimbing rohani saya, Romo Cahyo MSF, Beliau menyarankan saya untuk masuk MSF. Tetapi saya tidak mau masuk MSF karena sudah banyak sekali orang muda di Purwosari yang masuk MSF. Romo Cahyo lalu menyarankan saya masuk projo, tetapi saya menolak karena saya ingin keluar dari Keuskupan Agung Semarang. Pilihan lain yang ditawarkan adalah SJ. Ini pun saya tolak karena saya merasa kemampuan saya tidak memenuhi persyaratan untuk masuk SJ.
Nah, kebetulan waktu itu, adik Romo Cahyo yang adalah seorang CICM sedang berlibur. Akhirnya saya diminta untuk menemuinya beserta dengan formator CICM di Yogyakarta. Dari perbincangan itu, saya menjadi tertarik dengan CICM karena sepanjang perbincangan adik Romo Cahyo dan formator CICM selalu membicarakan motto CICM yaitu sehati dan sejiwa (cor unum et anima una). Inilah yang membuat saya tertarik bergabung dalam kongregasi CICM.
Bagaimana perjalanan panggilan Romo selanjutnya?
Dua tahun setelah masuk biara CICM di Makassar, saya mengucapkan kaul pertama di CICM pada tahun 1991. Setelah itu saya menjalani study teologi di Manila-Filipina. Lulus study, saya berpastoral di kota Cebu hingga ditahbiskan menjadi Diakon pada Desember 1999. Pada 28 April 2001 ditahbiskan menjadi Imam di Cebu dan diutus berpastoral di Pulau Mindanao tepatnya di Butuan City. Di situ saya diminta untuk membuka paroki baru di puncak gunung. Kebanyakan Pastor CICM yang berasal dari Indonesia dikirim Pulau Mindanao karena dianggap sudah terbiasa berdialog dengan umat Muslim.
Sekitar tahun 2008, saya kembali ke Indonesia untuk menjalani perutusan sebagai vocation director (bagian untuk promosi panggilan) dan tinggal di Makassar. Saat itu karena Paroki Santo Paulus Tello tidak ada pastor paroki, maka saya ditempatkan juga menjadi pastor paroki di sana selama tiga tahun. Lalu, saya diminta untuk melayani di Paroki Maria Ratu Rosari Kare selama 7 tahun hingga akhirnya ditugaskan di Paroki Pelaihari ini.
Ketika ditugaskan di Mindanao, apakah Romo tidak merasa khawatir dengan keselamatan nyawa Romo?
Terus terang, saya pernah menjadi target pembunuhan karena dianggap mata-mata oleh kelompok komunis yang saya layani. Kebetulan saya juga dekat dengan militer di sana. Tetapi saya tidak merasa takut. Memang sudah banyak Pastor yang meninggal di wilayah tersebut karena dibunuh. Oleh sebab itu saya tidak takut jika harus kehilangan nyawa.
Ketika mendengar berita bahwa saya menjadi target pembunuhan, saya mengajak seorang Pastor yang lebih muda dari saya untuk pergi ke kamp militer. Dalam pertemuan itu, mereka menyatakan bahwa bukan saya yang menjadi target pembunuhan, tetapi orang Indonesia lainnya yang juga tinggal di sana. Setiap kali merasa kuatir, saya selalu ingat dengan perkataan Maria, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendakMu.” Jadi jika itu bukan kehendak Tuhan, tidak akan terjadi.
Bagaimana pengalaman Romo selama proses pendidikan di seminari? Apakah ada yang berkesan?
Proses pendidikan di seminari saya jalani dengan normal-normal saja. Saya merasakan bahwa motto CICM yaitu sehati dan sejiwa itu dihidupi dengan baik oleh pastor-pastor CICM. Mereka bisa bermain bersama dan terbuka dengan kami, para seminaris. Sebagai seorang laki-laki, kalau ditanya masalah perempuan, saya berpikir “dia ini dekat dengan saya, karena saya seorang frater.” Jadi saya selalu mengingatkan diri saya dengan hal ini agar saya tidak merasa “ge-er” (gedhe rasa) akan hal itu.
Pengalaman yang berkesan di seminari adalah pengalaman yang justru semakin menguatkan panggilan saya. Hal yang paling saya ingat adalah ketika saya masuk ke skolastikat di Manila. Saya takut tidak diterima di sekolah teologi di sana karena nilai saya paling rendah di antara teman-teman seangkatan. Namun, ketika saya akan masuk terjadi pergantian rektor. Rektor yang lama orangnya sangat keras dan lebih memperhatikan nilai. Tetapi, rektor yang baru mempunyai pandangan yang berbeda. Dia melihat usaha seseorang tanpa memperhatikan nilai yang bagus. Hal inilah yang semakin menguatkan saya bahwa saya masuk ke CICM ini bukan karena kemampuan saya, tetapi terlebih karena panggilan saya.
Romo mengatakan pernah menjadi vocation director untuk promosi panggilan CICM. Bagaimana Romo melakukan promosi panggilan?
Dari namanya, kita harus melakukan promosi mengenai panggilan itu dan kita dapat belajar dari pihak swasta tentang cara promosi itu. Jangan kita mengatakan semua tentang panggilan itu. Tetapi, tampilkan dulu apa yang menarik tentang panggilan itu. Semuanya itu nanti dapat dimurnikan ketika sudah masuk ke dalamnya.
Dulu ketika saya menjadi vocation director, saya menampilkan rumah CICM yang indah, lalu tentang kegiatan yang menarik di CICM, agar seorang anak itu tertarik dan akhirnya masuk ke dalam CICM.
Bagaimana perasaan Romo ketika ditugaskan di Paroki Pelaihari?
Saya selalu siap untuk ditempatkan dimana saja. Bahkan dapat dikatakan saya senang untuk pindah-pindah tugas. Jika harus pindah ke tempat baru malahan saya senang karena saya tidak perlu lagi “menyiapkan” homili karena mereka di tempat yang baru belum pernah mendengarkan homili saya itu. Saya juga senang bahwa saya bisa mendapatkan pengalaman baru ketika berpindah tugas itu.
Lalu, bagaimana strategi Romo dalam berpastoral di paroki Pelaihari?
Sebenarnya saya sudah sangat ingin untuk mengunjungi stasi-stasi yang ada di paroki ini. Tetapi karena situasi yang tidak memungkinkan, saya memilih memfokuskan kegiatan di paroki, kecuali jika berkaitan dengan permintaan khusus terlebih kedukaan.
Saya merasa beruntung karena saya ditemani seorang diakon yang baru saja ditahbiskan. Jadi contohnya untuk BKSN kali ini, Diakon yang mengurusi. Saya juga mengingatkan kepada ketua-ketua komunitas untuk ikut zoom meeting yang diadakan oleh keuskupan. Selain itu, saya juga meminta koordinator stasi untuk memulai kegiatan di stasinya masing-masing. Jadi secara massal belum, tetapi untuk di komunitas-komunitas dan stasi harapannya dapat terus berjalan.
Satu lagi Romo, apakah benar Romo merupakan Provinsial CICM di Indonesia?
Hahaha….. jawabannya adalah salah besar. Tingkatan di CICM itu meliputi jenderal yang bertempat di Roma. Di bawahnya adalah provinsial. Indonesia masuk ke dalam provinsi Asia yang meliputi Jepang, Taiwan, Singapura, Mongolia, dan Indonesia. Di bawahnya adalah district superior termasuk Indonesia. Nah di Indonesia itu sendiri terbagi menjadi tiga komunitas yaitu komunitas Jakarta, Makassar, dan komunitas Banjarmasin. Saya di Pelaihari ini menjadi koordinator Komunitas Banjarmasin. ***