RP Jufri Kano, CICM atau yang biasa disapa – Pater ‘JK’ – adalah Pastor Paroki Santo Matius Halong. Ia diangkat sebagai Pastor Paroki pertama untuk paroki yang baru saja didirikan pada 1 Januari 2020.

Sebelum  ditahbiskan menjadi imam, pastor kelahiran Manggarai, 23 September 1985 ini pernah menjalani program internship atau Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di wilayah Halong dan sekitarnya, meski saat itu wilayah ini masih berstatus sebagai stasi dari Paroki Ave Maria Tanjung.

Dalam sebuah program ‘wawanhati’ yang diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 2021 oleh Seksi Komsos Paroki Ave Maria Tanjung dan dibantu oleh Komsos Keban melalui fasilitas zoom meeting, imam muda ini mengisahkan perjalanan panggilannya. Berikut hasil wawancara lengkapnya.

Pater Jufri


Bagaiman kisah masa kecil dari Pater
JK?

Saya lahir di sebuah daerah pesisir pantai. Sama seperti pengalaman anak-anak pantai pada umumnya, saya dan teman-teman seusia saya sejak kecil dilatih berenang oleh orang-orang yang lebih tua. Tentu ada tujuan di balik itu. Tujuannya sederhana, yaitu supaya kami menjadi anak yang kuat dan mandiri; sebab, para orang tua tidak bisa mengawasi kami (anak-anak) setiap saat. Maka, jika suatu ketika kami bermain-main di pinggir pantai dan terseret ke dalam air, setidaknya kami bisa menyelamatkan diri. Ternyata, latihan dan pelajaran masa kecil ini besar manfaatnya untuk saya hingga hari ini. Pengalaman itu memampukan saya untuk sebisa mungkin bertahan dalam segala situasi.

Mengenai panggilan menjadi seorang imam, apakah panggilan itu sudah ada sejak kecil, ataukah ada hal lain yang mendorong seorang Pater JK tertarik menjadi seorang imam?

Saya bercita-cita menjadi imam sejak kelas 5 SD. Maklum, daerah saya mayoritas Katolik. Makanya, anak laki-laki di sana (setidaknya waktu itu ya) jika ditanya “Kalau besar, mau jadi apa?” biasanya pertama-tama menjawab “Mau jadi Pastor” baru sesudahnya pilihan lainnya.

Secara pribadi, cita-cita menjadi imam muncul dalam diri saya setelah ada kunjungan dari para frater dan Pastor ke stasi kami. Ada sesuatu dalam diri mereka yang membuat saya berpikir dalam hati: “Suatu saat saya mau seperti mereka”.

Selain itu, alasan lainnya adalah karena di keluarga sudah ada paman saya (adik dari ibu saya) dan kakak sulung saya yang sudah terlebih dahulu mengenyam pendidikan di seminari.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, maka setelah lulus SD, saya mengikuti ujian masuk seminari kecil tingkat SMP, namun tidak diterima. Barulah sesudah menyelesaikan pendidikan di SMP, saya mengikuti ujian masuk seminari tingkat SMA, dan dinyatakan diterima.

Baca Juga:  RP. Ambrosius Laba Ruing, MSF: Pemberkatan Jenazah Di Atas Air

Apa tanggapan orang tua ketika memutuskan masuk seminari?

Pada dasarnya, keluarga saya mendukung pilihan saya untuk masuk seminari. Hanya saja, ibu saya sempat keberatan karena takut kalau-kalau nantinya saya serius ingin menjadi imam. Pertimbangannya sebenarnya sederhana: karena dari segi jumlah, keluarga kami tergolong keluarga yang sangat kecil, makanya ibu saya mengharapkan agar nantinya (dengan menikah dan mempunyai keturunan) saya bisa menambah jumlah anggota keluarga. Ibu saya akhirnya mendukung pilihan saya setelah saya mengatakan bahwa saya masuk seminari hanya sekedar ‘menuntut ilmu’, dan bukan untuk menjadi imam.

Ketika saya sudah bergabung dengan CICM dan hendak melanjutkan pendidikan Teologi di Filipina, ibu saya melihat adanya tanda-tanda keseriusan dalam diri saya untuk menjadi imam. Ia pun mengingatkan saya tentang perkataan saya dulu soal ‘sekedar menuntut ilmu’. Saya tidak banyak memberikan penjelasan kepadanya, tapi dengan singkat berkata: “Perjalanan saya sudah jauh, saya tidak boleh menoleh ke belakang lagi”. Rupanya, perkataan singkat ini bisa diterima. Sekarang ibu saya sangat mendukung pilihan saya.

Ketika menjalani panggilan atau berproses di seminari, apakah pernah merasakan pasang-surut panggilan itu dan bagaimana cara Pater JK agar tetap bisa teguh pada panggilan itu?

Ya, tentu saja. Saya pernah mengalami titik terendah dalam panggilan saya, hingga berpikir untuk mundur saja. Dan, itu terjadi saat saya menjalani program internship di pegunungan Meratus, yang kemudian menjadi Paroki St. Matius Halong, tempat saya berkarya saat ini.

Singkat cerita, saat itu saya merasakan adanya tantangan yang luar biasa beratnya di sini. Tantangan itu pertama-tama bukan karena medannya yang berat, tapi justru dari orang-orangnya (baca: umatnya). Namun, saya selalu ingat bahwa saya tidak pernah berjalan sendiri. Saya percaya bahwa menjadi calon imam dan imam bukan sekedar cita-cita, melainkan karena ada yang memanggil. Dan, Dia yang memanggil tidak akan membiarkan dia yang dipanggil-Nya berjalan sendirian. Karena itu, saya berkeyakinan bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan saya. Dia selalu ada, menyertai, dan  memberikan sejumlah kemampuan dan solusi untuk setiap persoalan yang saya hadapi.

Mengapa tertarik masuk tarekat CICM?

Saya mengenal CICM dari Majalah Hidup. Saat itu, CICM memasang iklan panggilannya di majalah tersebut. Bunyi iklannya seperti ini: “Beranikah engkau bermimpi? Beranikah engkau mewujudkan impianmu? CICM berani bermimpi untuk mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus!” Kalimat pendek ini mempengaruhi saya. Saya pun tertarik dan ingin bergabung dengan CICM.

Baca Juga:  Memaknai Tubuh dan Darah Kristus Sebagai Awal Perutusan

Satu hal lain yang membuat saya tertarik dengan CICM adalah ‘persaudaraan universalnya’. CICM terkenal dengan motonya: ‘Cor Unum et Anima Una’ atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘sehati sejiwa’. Di dalam CICM, apapun bangsa, negara, suku, warna kulit, semua menjadi saudara satu sama lain. Dan, itu sangat saya rasakan ketika sudah bergabung dengan terekat CICM.

Selama menjalani pendidikan dan pembinaan di seminari adakah peristiwa yang membuat Pater JK tersenyum saat mengingatnya?

Ada, yaitu saat saya dan teman-teman belajar bahasa Inggris di Baguio City, Philippines. Kami yang saat itu rata-rata sudah ‘kumisan’ dan ‘jenggotan’, gara-gara belajar bahasa Inggris, mau tidak mau harus latih bicara seperti anak kecil lagi. Cara buka mulut diberitahu, cara mengucapkan kalimat demi kalimat diajarkan, dan sebagainya. Padahal, dari segi umur, guru yang mengajar kami waktu jauh lebih muda dari kami. Tapi, karena dia sudah guru, ya kami hanya bisa menahan malu.

Apa yang dirasakan setelah ditahbiskan menjadi seorang imam?

Sehari menjelang tahbisan dan dua hari setelah ditahbiskan rasanya susah tidur. Pada saat akan ditahbiskan, yang saya pikirkan adalah: “Apakah hidup saya berakhir seperti ini?” Dan, setelah ditahbiskan berpikir lagi, “Apa yang saya bisa buat sebagai imam?” Intinya, perasaan saya saat itu campur aduk. Ada cemasnya, ada senangnya, ada groginya, dan sebagainya. Lambat laun, semua perasaan cemas dan grogi itu menghilang, yang tersisa hanya senang. Saya senang ditahbiskan menjadi imam dalam tarekat CICM.

Sebelum ditugaskan di Paroki Halong wilayah mana saja yang pernah menjadi tempat tugas?

Saya ini kan imam muda. Usia tahbisan saya masih seumur jagung. Waktu ditugaskan sebagai Pastor Paroki Halong, usia tahbisan saya baru masuk 2 tahun. Nah, itu artinya tempat tugas saya sebelum dipindahkan ke Paroki Halong tidak banyak. Hanya satu, yaitu sebagai Pastor  rekan di Paroki St. Theresia Pelaihari.

Saat ditugaskan ke Halong, bagaimana reaksi Pater JK?

Jujur ya, saat pertama kali tiba di Paroki Halong, saya sempat mengalami migrain (sakit kepala sebelah). Itu terjadi di hari pertama tiba di sini. Ada yang bilang itu karena sehabis jalan jauh. Tapi sebenarnya bukan itu penyebabnya. Yang membuat saya migrain adalah karena saya membayangkan kesulitan yang dulu pernah saya alami semasa menjalani program internship  di sini.

Baca Juga:  Mengenal Diakon Baru: Diakon Klemens Bhajo, CICM

Saya tidak habis pikir, dulu saat saya datang ke sini sebagai frater, saya merasakan beratnya tugas di tempat ini. Padahal, sebagai frater, tanggung jawab saya saat itu hanya sedikit atau bahkan tidak ada. Sekarang saya ditugaskan di sini sebagai imam, bahkan sebagai pastor paroki, saya membayangkan beban tanggung jawab dan tantangan yang luar biasa berat di depan sana.

Pater Jufri (tengah) dan para penari Paroki Halong


Apa yang menjadi prioritas dalam menggembalakan umat di
Paroki Halong?

Paroki kami masih baru, ibaratnya kami baru belajar merangkak. Tentu banyak hal yang harus dikerjakan. Saya berpikir bahwa segala rencana dan pekerjaan yang lain bisa berjalan dengan baik hanya jika umatnya sudah mengenal, memahami, menghayati, dan mewujudkan iman Katoliknya. Karenanya, yang menjadi prioritas di sini adalah menjalankan program Katekese dan Mistagogi.

Mengajar anak-anak di gereja


Menga
pa memilih untuk berkarya sebagai penulis di situs JalaPress.com, apa yang melatar belakanginya ?

Alasannya sederhana: saya tidak mempunyai bakat yang lain. Waktu di seminari menengah, semua siswa ditempatkan menurut bakat dan kemampuannya masing-masing. Yang bisa bernyanyi ditempatkan di kelompok koor, yang bisa bermain bola sepak ditempatkan di seksi olahraga, dan seterusnya. Nah, saya tidak bisa itu semua. Tapi, saya suka membaca. Orang bilang, “Kalau suka membaca, harusnya juga bisa menulis”. Maka, kemampuan menulis inilah yang saya gali dan kembangkan. Saya pun berpikir bahwa bakat ini bisa saya gunakan untuk pewartaan. Hingga akhirnya saya mengenal istilah ‘cybermission’, bermisi di dunia cyber – sehingga pewartaan itu dilakukan di dunia maya. Saya menulis di dunia maya sejak tahun 2011. Tapi saat itu masih menggunakan blog. Isinya ya macam-macam. Barulah setahun setelah ditahbiskan menjadi imam saya membuat website, yang fokusnya pada Katekese dan Apologetika. Website itu saya beri nama JalaPress.com, dan nama itu diambil dari motto tahbisan saya, “Tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (Luk. 5:5).

Apa harapan Pater JK untuk umat Paroki Halong dan juga dalam hubungannya dengan panggilan menjadi biarawan biarawati?

Harapan saya hanya satu, yaitu agar umat Paroki St. Matius Halong sungguh-sungguh mengenal, memahami, menghayati, dan mewujudkan iman Katoliknya. Secara khusus untuk kaum muda: mari buka telinga dan buka mata, dengar dan lihat apa yang Tuhan katakan dan kerjakan. Tuhan menunggu kita di ujung jalan. Mari lihatlah dan ikutilah Dia.

Pater Jufri bersama kaum muda Paroki Halong

(Komsos Paroki Ave Maria, Tanjung; foto-foto: koleksi RP. Jufri, CICM)