Saat menyelesaikan operasi terakhir pada pelayanan medis di Pulau Kei, Maluku pada 2009, Pendiri doctorSHARE, dr. Lie A Dharmawan, Phd, FICS, SpB, SpBTK dan tim berencana untuk kembali ke Jakarta. Namun saat itu datanglah seorang ibu menggendong anak berusia sembilan tahun yang tak sadarkan diri karena kondisi usus terjepit dan berisiko mengalami pendarahan dalam. Sang ibu memohon pada dr. Lie untuk menyelamatkan nyawa putrinya, yang bernama Susanti. Ibunda Susanti putus asa dan panik mencari bantuan untuk kesembuhan anaknya dan ia telah membawa Susanti berlayar melintasi lautan selama tiga hari untuk mencari bantuan dan membawa anaknya dengan sampan.

Kasus Susanti merupakan satu dari banyak persoalan kesehatan dan buruknya layanan kesehatan yang dihadapi masyarakat Indonesia di daerah terpencil. doctorSHARE hadir dengan tujuan untuk menjembatani ketimpangan dan menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak memiliki akses bantuan kesehatan yang layak (doctorSHARE.org).

RSA Nusa Waluya II saat melayani masyarakat Kotabaru

Pada November 2021 lalu, salah satu rumah sakit apung (RSA) milik doctorSHARE bernama Nusa Waluya II berlabuh dan melakukan pelayanan kesehatan di Kotabaru, Kalimantan Selatan. RD. Ignatius Allparis Freeanggono, ketua Komisi Komsos Keuskupan Banjarmasin dan Pastor Paroki Santo Yusup, Kotabaru berkesempatan berbincang-bincang dengan Koordinator RSA Nusa Waluya II,  Dr. Reinaldo Ivan Lubis. Berikut petikan perbincangan di atas rumah sakit tersebut:

 

Dr. Reinaldo Ivan Lubis (kanan) bersama RD. Ign. Allparis F.

Sekilas profil dokter?

Saya merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Saya bersekolah di Universitas Maranatha di Bandung. Saya aslinya orang Medan dan ketika saya berusia lima tahun orang tua pindah ke Pontianak.

 

Ketika memasuki dunia kedokteran, apakah sudah meminta ijin ke orang tua, untuk diperbolehkan menjadi dokter yang memberikan diri untuk pelayanan?

Ketika wisuda saya bilang kepada orang tua saya, saya ingin menjadi dokter yang tidak kaya. Saya ingin mendedikasikan diri saya untuk pelayanan. Saat itu memang agak sulit untuk diberi ijin, tetapi saya masih mengikuti beberapa pelayanan. Sampai akhirnya tiga tahun kemudian, saya minta ijin ke orang tua saya untuk fokus kepada pelayanan saya di pedalaman. Kebetulan waktu itu saya sudah masuk pada artikel di Koran, majalah dan menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Lalu orangtua saya melihat yang saya kerjakan itu sangat berdampak bagi banyak orang. Setelah itu saya diberikan ijin untuk melakukan pelayanan tetapi tetap harus menjaga kesehatan.

Baca Juga:  Gereja Katolik Muara Napu: Karena Kehendak Tuhan

 

Berapa banyak dokter disini?

Ada  Dokter kandungan, dokter anestesi, dokter anak dan dokter umum.

 

Berapa kapal yang dimiliki Dokter Lie?

Kapalnya ada tiga. Dasarnya ini dahulu adalah kapal tongkang, dibangun untuk menjadi hotel terapung. Karena hotel terapung itu tidak laku, maka kapal ini dihibahkan kepada dokter Lie. Untuk strukturisasi bangunan tidak begitu sulit, karena sudah ada terdapat kamar-kamar didalamnya.

Dr. Lie A Dharmawan, Phd, FICS, SpB, SpBTK (kanan)

Bisakah diceritakan secara singkat tentang Dokter Lie?

Dokter Lie merupakan keturunan China-Padang. Beliau berasal dari keluarga yang miskin dan memiliki beberapa saudara. Suatu saat ada salah satu anggota keluarganya sakit sehingga kesulitan biaya. Lalu ibunya dokter Lie bilang, “Kalau kamu jadi dokter jangan suruh pasienmu bayar, karena mungkin saja mereka bisa membayar tetapi mereka tidak bisa makan”. Itulah pesan yang dokter Lie ingat sampai hari ini.

Dokter Lie ingin menjadi dokter agar bisa mendedikasikan ilmunya kepada sesama. Beliau bahkan kemudian menjual rumahnya yang berada di Jakarta untuk membeli kapal “Bahenol” yang digunakan untuk melakukan misi pelayanannya yang pertama pada tahun 2013. Sekarang dokter Lie berusia 73 tahun. Beliau adalah seorang dokter spesialis bedah toraks yang menjalani pendidikan kedokteran dari S1 hingga spesialis di Jerman. Karena panggilan hidup untuk melayani sesame, Beliau kembali ke Indonesia.