Sejarah Gereja Maria Bunda Karmel, Sebamban Raya (bagian 2)
Seiring dengan makin berkembangnya perkebunan dan pertambangan di Sebamban hingga Satui, maka semakin banyak para pekerja yang datang dari Nusa Tenggara dan Toraja ke daerah tersebut. Sebagian dari para pendatang tersebut adalah umat Katolik, sehingga jumlah umat dan wilayah yang harus dilayani oleh Paroki Santo Vincentius a Paulo Batulicin semakin banyak dan semakin luas.
Pelayanan yang Semakin Berkembang
Pada 15 Oktober 2001, Uskup Keuskupan Banjarmasin kala itu, Mgr. FX.Prajasuta MSF memekarkan Paroki Santo Vincentius a Paulo Batulicin dengan pendirian paroki baru, yaitu Paroki Stella Maris. Paroki yang baru didirikan ini berpusat Sungai Danau, tepatnya di desa Makmur Mulia, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu. RD. Simon Edy Kabul Teguh Santoso (Romo Simon) ditugaskan sebagai Pastor Paroki pertama.
Perkembangan jumlah umat Katolik di wilayah Sebamban cukup pesat kala itu. Pelayanan administrasi gereja lebih dekat dan pelayanan pastoral seperti kunjungan-kunjungan komunitas menjadi lebih sering. Komunitas pun berkembang dari 5 komunitas menjadi 7 komunitas. Perkembangan ekonomi umat juga mulai membaik karena adanya perkebunan karet dan kelapa sawit. Pendirian koperasi juga cukup membantu umat dalam mengembangkan usaha.
Sebamban Raya adalah salah satu dari beberapa komunitas atau stasi yang ada di wilayah Paroki Stella Maris. Dalam pelayanan pastoral dan pengajaran agama, Romo Simon dibantu oleh Suster-Suster SSpS yang tinggal di Satui dan Suster-Suster SFD yang ada di daerah Asam-Asam. Dengan kendaraan mobil L-300, Romo dan Suster-suster SSpS mengunjungi komunitas dan stasi. Stasi terjauh di daerah Sebamban adalah Stasi Bartolomeus Mustika. Selain jaraknya yang cukup jauh, medan menuju gereja di Mustika juga cukup berat. Mobil Romo Simon kerap kali terjebak lumpur di tengah perkebunan sawit pada musim hujan. Dalam cerita lainnya, pernah juga diadakan rapat Koperasi di tengah sawit bersama seluruh umat Sebamban Raya.
Wilayah pelayanan yang luas, banyaknya komunitas/stasi serta akses jalan menuju komunitas/stasi yang tidak bagus tersebut harus dilayani oleh satu pastor. Maka pelayanan misa di stasi pun dilakukan secara bergilir. Misalnya, Minggu pertama, misa di pusat paroki diadakan jam 9 pagi, kemudian jam 2 siang, Pastor memimpin misa di Stasi 2F. Untuk minggu ke dua, pindah ke stasi lainnya setelah misa di pusat paroki. Bila tidak memungkinkan untuk pulang ke pastoran karena sudah larut malam dan jaraknya jauh, biasanya Romo akan menginap di rumah umat di stasi yang dikunjungi. Hal ini berdampak pada tumbuhnya hubungan yang baik antara imam dan umatnya. Pastor lebih mengenal keadaan umat dan keluarga katolik yang dilayaninya.
Tempat Perayaan Natal atau Paskah setiap tahunnya juga dilakukan secara bergiliran di setiap Gereja stasi di wilayah Sebamban Raya. Salah satu peristiwa yang sangat berkesan bagi umat Stasi Sebamban II Blok D adalah ketika Bapa Uskup FX. Prajasuta, MSF memimpin misa Hari Raya Natal di Gereja St. Yusuf Stasi Sebamban II Blok D. Umat sangat bahagia mendapatkan kesempatan untuk bertemu Bapa Uskup secara langsung.
Dalam kunjungannya ke stasi, Romo Simon juga mengajar umat menyanyi lagu-lagu di Madah Bakti serta mengajar anak-anak cara membaca Kitab Suci. Suster-Suster SSpS juga ikut mengajar agama Katolik, tentang Sakramen dan lain-lain kepada anak-anak yang bersekolah. Suster-suster perdana yang berkarya pada masa itu adalah Sr. Maria Drira, SSpS ; Sr. Herminiana, SSpS ; Sr. Stefana Moi Meo,SSpS; dan Sr. Agneta SSpS.
Berkat di Balik Persoalan Tata Letak Gereja
Setelah kurang lebih tiga tahun menjadi Pastor Paroki Stella Maris, Romo Simon mendapatkan penugasan di tempat lain. Tahun 2005, Paroki Stella Maris mendapat gembala baru yaitu RD. Ignatius Alparis Freeanggono (Romo Paris). Kegiatan pastoral yang dulu dilakukan oleh Romo Simon pun dilanjutkan oleh Romo Paris. Ia berkunjung ke stasi-stasi Sebamban Raya menggunakan motor trail, menginap di hutan, pulang ke pastoran membawa tupai, madu, buah-buahan, dan lain-lain yang didapatkan dari umat.
Pada suatu hari Romo Paris mendapatkan laporan dari seorang umat stasi Sebamban 2 F bahwa tanah gereja di Sebamban 2 F diminta pemiliknya. Dari laporan tersebut baru terungkap bahwa ternyata gereja St. Yohanes Sebamban II F berdiri di atas tanah yang bersertifikat atas nama salah satu masyarakat setempat, dan bukan di atas tanah yang diberikan pemerintah untuk dibangun gereja. Artinya, kapel yang dibangun sekitar tahun 1990-an tersebut salah letaknya. Mengapa bisa terjadi? Rupanya ketika membangun, batas-batas tanah tidak jelas. Bahkan, sewaktu membangun gereja, si pemilik tanah ikut membantu membangun, tanpa menyadari bahwa kapel dibangun di atas tanah miliknya.
Untuk memastikan laporan tersebut, pihak gereja berkoordinasi dengan pemerintah desa mengenai kesalahan tata letak gereja itu. Dan memang benar bahwa gereja berdiri di atas tanah orang lain.
Romo Paris melalui umat setempat selaku mediator mencoba menyelesaikan persoalan itu dengan menawarkan tukar guling tanah, yaitu tanah yang dihibahkan pemerintah untuk gereja ditukar dengan tanah yang di atasnya telah didirikan gereja itu. Namun pemilik tanah tidak bersedia. Maka gereja kemudian menawarkan penyelesaian lain dengan cara membeli tanah itu. Namun, pemilik tanah tetap tidak bersedia.
Setelah negosiasi mengalami jalan buntu, akhirnya umat stasi Sebamban 2 F rapat untuk membahas persoalan ini. Dalam rapat, Pak Semangat, seorang manager perusahaan kelapa sawit yang cukup berpengaruh di wilayah tersebut menawarkan bantuan untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut melalui koordinasi dengan pemerintah kecamatan. Melalui koordinasi tersebut, disepakati bahwa akan ada penggantian tanah untuk gereja oleh pemerintah. Akhirnya sebuah tanah kosong berukuran 50 meter x 50 meter yang letaknya di samping gereja lama dihibahkan oleh pemerintah untuk didirikan gereja. Setelah proses hibah tanah gereja selesai, pemerintah kecamatan menawarkan kesempatan bagi gereja untuk membangun dan mengurus IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) untuk gereja.
Persoalan muncul dalam proses perijinan ketika diminta gambar bangunan gereja yang akan dibangun. Proses yang bergulir dan tak terduga, dari masalah sengketa tanah hingga tawaran ijin membangun gereja membuat rancangan bangunan gereja tidak disiapkan sebelumnya.
Tanpa diduga, suatu hari Pastor Paroki Batulicin, Romo Maryanto, CM mampir ke pastoran Sungai Danau dalam perjalanan menuju keuskupan untuk konsultasi pembangunan gereja Batulicin. Dalam pertemuan itu, Romo Paris melihat gambar rancangan bangunan gereja Batulicin yang dibawa Romo Maryanto. Ukuran bangunannya sesuai untuk ukuran tanah di Sebamban 2 F! Maka kemudian Romo Paris meminjam gambar tersebut untuk difotocopy. Gambar itulah yang kemudian digunakan sebagai kelengkapan perijinan pembangunan gereja. Akhirnya, dengan bantuan Pak Semangat dan proses perijinan pembangunan gereja selesai dalam waktu satu hari dan dengan biaya kurang dari satu juta.
Gereja Sebamban 2F (tahun 2012)
Gereja Batulicin (tahun 2012)
Tanah sudah diberi, ijin pembangunan gereja sudah dikantongi. Persoalan kembali muncul, darimana dana untuk membangun gereja? Beberapa bulan sebelumnya, ketika Romo Simon menjadi Pastor Paroki Sungai Danau, paroki ini mengalami penolakan dan penghancuran bangunan dari sekelompok orang ketika sedang membangun pastoran. Sisa-sisa bahan bangunan yang belum dipakai maupun yang sudah dipasang namun kondisinya masih baik pun kemudian dikumpulkan dan diangkut ke Sebamban untuk dipakai membangun gereja. Tak lama kemudian, keuskupan memberikan dana sebesar 200 juta untuk pembangunan gereja di Sebamban. Tentu saja nilainya tidak cukup untuk mendirikan bangunan sebesar itu.
Untuk mengatasi kendala keterbatasan dana, Pak Semangat yang waktu itu akan mengakhiri masa tugasnya sebagai manager perusahaan kelapa sawit, mengusahakan pengadaan semen dari Batulicin dengan harga yang sangat murah. Sementara itu Pak Agung, umat setempat menyediakan diri menjadi kepala tukang dan merekrut beberapa tukang dengan biaya paling murah. Adakalanya umat bekerja secara bergotong royong. Pengurukan tanah untuk pondasi gereja dibantu oleh Pak Totok yang memiliki armada angkutan sehingga gereja hanya membayar tanah yang dibeli dan biaya bahan bakar. Romo Paris dan seluruh umat Sebamban Raya pun terlibat dalam pembangunan, ada yang ikut membangun, mencarikan bahan-bahan bangunan dengan harga rendah, menggunakan besi bekas pakai, mencari donatur dan sebagainya. Meskipun demikian, dana hanya cukup untuk mendirikan bangunan dan tidak cukup untuk membiayai atap hingga akhirnya keuskupan kembali memberikan suntikan dana.
Syukur pada Tuhan, akhirnya pembangunan gereja di Sebamban II F dapat diselesaikan meski tanpa panitia pembangunan. Bahkan ketika diperlukan air dalam proses pembangunan dan umat membuat sumur untuk mencari mata air, sumur yang dibuat di samping gereja dapat mengeluarkan air dengan deras. Masalah tata letak, perijinan serta ketidaksiapan gambar rancangan gereja rupanya menjadi berkat dari Tuhan bagi umat di Sebamban yang akhirnya memiliki gedung gereja yang lebih besar. Selama proses pembangunan gereja, semua kegiatan peribadatan dan misa tetap dilakanakan di gereja yang lama. Kegiatan-kegiatan pelayanan pun dapat berjalan dengan lancar.
Tak lama setelah gereja selesai dibangun dan sebelum gereja Sebamban 2 F diresmikan, sekitar tahun 2008, Romo Paris pindah tugas. Peresmian gereja baru tersebut dilakukan oleh Bapak Uskup FX. Prajasuta, MSF dan dihadiri oleh tokoh masyarakat.
Setelah pindah tugas, Romo Paris digantikan oleh Romo Siswo, MSC sebagai Pastor Paroki Stella Maris. Namun karena kondisi kesehatan yang kurang baik, Romo Siswo pun akhirnya dipindah.
Pelayanan pastoral di Sebamban dilanjutkan oleh RD. Ignatius Supardi yang waktu itu ditugaskan menjadi Pastor Paroki Stella Maris menggantikan Romo Siswo. Pada masa penggembalaan Romo Supardi ini, gereja Santo Yohanes Sebamban II F yang baru sudah bisa dipakai untuk kegiatan peribadatan. Tentunya masih dengan perabotan dari gereja yang lama. Lantainya juga masih kasar. (Villa Nova Susanti/RD. Ign. Allparis)