Stefanus Sumarno: Memanen Buah Ketekunan
Stefanus Sumarno atau akrab disapa sebagai Marno lahir pada tahun 1967 di Kendal, Jawa Tengah. Di usia 14 tahun, ia mengikuti orangtuanya (alm. Sutrisno Ramin) bertransmigrasi ke tanah Borneo. Tepatnya pada 26 Juni 1981.
Waktu itu pemerintah memberikan jatah kepada para transmigran sebidang lahan seluas 2 hektar per kepala keluarga di daerah Sebamban 3 Blok A. Sembilan tahun berselang, pada tahun 1990 pemerintah membantu masyakat transmigran dengan membagikan bibit-bibit karet. Sejak saat itu, Marno beserta keluarga menanami pekarangan rumah mereka seluas 2 hektar dengan bibit karet.
Selama lima tahun, keluarga Marno merawat kebun karetnya dengan memupuk dan membersihkan tumbuhan liar di sekitar tanaman karet. Pada waktu itu, pupuk NPK dan sejenisnya masih disubsidi oleh pemerintah dengan harga sekitar Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,- . Pemupukan dilakukan setiap 3 kali dalam satu tahun. Volume pupuk sekitar 2 sampai 4 kwintal /hektar. Tahun 1995 pohon karet keluarga Marno sudah bisa disadap. Setiap subuh mereka menyadap getah, sorenya mencukai torehan. Hasil sadapan karet dari lahan seluas 2 Ha ini digunakan untuk menghidupi keluarga dan membiayai kuliah putri pertama mereka.
Tahun-tahun berikutnya, Marno membeli beberapa ahan yang masih kosong secara bertahap sesuai dengan kemampuannya. Ada yang dibeli dengan harga 80 juta, ada juga yang 45 juta per hektar. Lahan tersebut kemudian ditanami pohon karet. Istrinya, Yohana Tuyem sangat setia membantu Marno sebagai petani Karet. Jika hari Senin mereka menyadap di lahan yang satu, maka hari berikutnya mereka menyadap di lahan yang lain. Adik-adik Marno juga giat bekerja menyadap karet. Setelah orangtua dan beberapa adik Marno pindah ke Mandam, Marno mengelola kebun karetnya dengan keluarganya dan beberapa saudara yang masih tinggal di Sebamban 3 blok A.
Sekitar tahun 2000-an umat Katolik di Sebamban 3 mulai bertambah dan mulai ada pelayanan pastoral dari gereja Katolik. Marno menyadari bahwa umat di wilayah itu memerlukan tempat ibadah atau kapel. Maka Marno menghibahkan lahan seluas kurang lebih 3 Ha kepada Keuskupan Banjarmasin untuk didirikan sebuah kapela. Ketika Paroki Stella Maris Sungai Danau dibentuk dan RD. Simon Edy Kabul Teguh Santoso (Romo Simon) menjadi pastor paroki, Marno banyak berdiskusi dengan Romo Simon terkait lahan gereja Sebamban 3 yang masih kosong.
“Saya dulu konsultasi dengan Romo Simon, kira-kira kebun ini mau ditanami apa. Dalam diskusi itu saya tawarkan pilihan, mau ditanami karet atau kelapa sawit. Romo Simon menyarankan agar ditanami karet saja. Karena dari segi ekologisnya, pohon karet ramah dengan alam atau lingkungan, rindang, sejuk, daun-daun yang jatuh bisa langsung jadi pupuk. Sedangkan kalau sawit, ya memang hasilnya bagus, hanya saja efek yang ditimbulkan itu agak buruk. Sawit banyak menyerap air. Suatu saat bisa menyebabkan kekeringan,” papar Marno.
Setelah diskusi tersebut, akhirnya kebun gereja stasi 3 A juga ditanami pohon karet dan setelah lima tahun sudah bisa dipanen. Pohon karet tersebut dipanenkan oleh Parjio, adik Marno dan hasilnya diserahkan ke Keuskupan Banjarmasin.
Berkat ketekunannya, hingga tahun 2021 ini, Marno memiliki 6 Ha kebun karet atas nama sendiri, tidak termasuk tanah gereja yang dihibahkan. Setiap bulannya, Marno memanen getah seberat 1 sampai 1,5 ton. Dari hasil sadapan karet ini, beliau menyekolahkan kedua putrinya hingga menjadi sarjana. Selain itu, beliau juga bisa membeli sapi, membangun rumah, membeli sepeda motor, dan membantu membangun kapela yang baru bersama-sama dengan umat di stasi 3 A. Karena usia yang tidak muda lagi, Marno tidak sanggup mengelola lahan seluas 6 Ha. Maka dia mempekerjakan dua orang untuk menyadap lahannya.
Sosok Marno adalah salah satu dari beberapa aktivis gereja Sebamban yang pertama. Selain aktif dalam kerohanian, pria berusia 54 tahun ini selalu menyumbangkan rejekinya untuk pembangunan dan pelayanan di paroki. Marno menuturkan bahwa ia dan istrinya berprinsip, jika kita membantu gereja dengan tulus ikhlas, pasti rejeki kita akan ditambahkan berlipat ganda. Tidak ada yang mudah dalam sebuah pencapaian. Semua membutuhkan proses dan perjuangan. Memelihara kebun karet merupakan ungkapan kesetiaan dan ketekunannya dalam menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang. (Tim Komsos Paroki Maria Bunda Karmel, Sebamban Raya)