Belakangan ini ada seorang teman dekat saya berkeluh kesah mengenai hal yang sedang dialaminya, mulai dari merasa kekurangan waktu, keuangan yang kadang cukup tetapi lebih banyak kurang hingga perasaan kurang dicintai. Ada penggalan keluh kesahnya yang cukup mengusik saya, ”Dengan keadaan unda yang banyak kekurangan ini dan balum beisi labih ni kayakanya unda kada bisa jadi apa-apa”. Pandangan saya langsung jauh saat mendengar itu dan merasa teman dekat saya ini seperti tidak memiliki semangat sebagai anak muda.

Beberapa anak muda tidak menyadari jika di balik kekurangan tersebut mereka masih memilki sesuatu. Ada satu ayat dari Alkitab yang dapat dikutip sebagai analogi, ”Hiasan orang muda ialah kekuatannya dan keindahan orang tua ialah uban,” (Amsal 20:29). Kutipan ayat ini mencoba menggambarkan semakin bertambah usianya seseorang, maka uban pada rambutnya semakin bertambah dan mengingatkan pada kematian yang menjadikannya lebih bijaksana dalam memahami kehidupan.

“Hiasan orang muda ialah kekuatannya dan keindahan orang tua ialah uban” (Amsal 20:29)

Lain halnya dengan anak muda yang digambarkan memiliki kekuatan, salah satunya ialah talenta. Talenta dapat dipahami sebagai pembawaan atau bakat yang dianugerahkan sejak lahir. Sesuatu yang dianugerahkan ini pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Perihal mengenai talenta ini mengingatkan saya pada perumpamaan, ”Sebab kepada setiap orang yang mempunyai dia akan diberi dan dia akan berkelimpahan. Namun orang yang tidak mempunyai bahkan apa yang ia miliki hal itu akan diambil dari padanya,” (Matius 25:29). Perumpamaan ini hendak menegaskan bahwa talenta yang dimiliki seseorang harus dipergunakan dan dikembangkan. Jika talenta itu disembunyikan, maka seseorang tersebut tidak memperoleh apa pun.

Ciri khas kaum muda: mengembangkan talenta

Saat ini permasalahan anak muda dan talenta masih menjadi agenda besar bagi Gereja. Saya teringat ajakan seorang Pastor kala itu untuk menjadi pendamping bagi anak muda di komunitas, terutama bagi mereka yang masih bersekolah. Ajakan ini terlintas karena melihat masih banyak anak muda yang belum aktif dalam kegiatan kolektif di Gereja. Di samping itu, beberapa orang tua juga mengkhawatirkan anak-anak mereka yang tampak kurang bergaul dan berkegiatan. Tidak sedikit dari mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya pada layar gadget atau gawai. Hal ini tidak menjadi masalah jika mengarah pada hal positif.

Baca Juga:  Pertemuan Pra Sinodal Tingkat Paroki, Kelompok Kategorial, Ormas dan Kongregasi

Suatu riset mengenai pengaruh perkembangan teknologi komunikasi terhadap perilaku remaja menyebutkan sikap anti sosial menjadi salah satu efek samping dari keasyikan fantasi dunia digital. Anak-anak muda tersebut cenderung lebih jarang berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, yang menjadikan kemampuan interpersonal dan emosional tidak dapat berkembang secara optimal (Astuti & Nurmalita, 2014). Kekhawatiran mereka muncul ketika anak muda dirasa menjadi anti-sosial, tidak hanya pada lingkungan Gereja, namun juga merambah pada kehidupan bermasyarakat.

Melestarikan budaya

Permasalahan anak muda itu tidak sekadar menjadi ”PR” (pekerjaan rumah) warga Gereja, tetapi juga ”PR” kita bersama sebagai warga negara Indonesia untuk menjawab ”Bagaimana anak muda yang cenderung anti-sosial memberikan kontribusi untuk Tanah Air kita Indonesia?” Anak muda memiliki banyak peran penting, salah satunya ialah untuk melestarikan budaya. Budaya dapat dipahami sebagai suatu kebiasaan yang dilakukan terus-menerus oleh sekelompok masyarakat. Artinya, sikap anti-sosial pada anak muda ini jika dibiarkan begitu saja akan menjadi kebiasaan yang akan mempengaruhi budaya di Indonesia. Salah satunya ialah budaya gotong-royong yang akan memudar jika mereka jarang berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Budaya gotong-royong di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam mewujudkan cita-cita rakyat, membangun kesadaran dan solidaritas sosial, serta kesadaran kolektif untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat di negara ini.

”Bagaimana anak muda yang cenderung anti-sosial memberikan kontribusi untuk Tanah Air kita Indonesia?”

Beruntungnya di negara kita ini memiliki satu momen yang dinamakan hari Sumpah Pemuda untuk mengingatkan kembali tentang budaya gotong-royong yang dilakukan oleh anak-anak muda kala itu. Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928 ini melahirkan tiga pilar sumpah yang berbunyi, “Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indoneia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Tiga pilar tersebut lahir dari suatu proses panjang. Budaya gotong-royong telah menumbuhkan kesadaran kolektif di antara mereka untuk mempersatukan Indonesia dengan mengesampingkan perbedaan suku, warna kulit, dan agama. Mengutip dari Ritzer, kesadaran kolektif memiliki peran dalam satu kelompok masyarakat yang akan membentuk sistem kehidupan sendiri (Ritzer & Godman, 2013). Artinya, kesadaran kolektif memiliki peran untuk membangun kembali kepercayaan dan perasaan anak muda terhadap pentingnya budaya gotong-royong hadir di tengah mereka dengan sistem yang lebih ”kekinian” sesuai dengan gaya mereka.

Baca Juga:  Sebamban: Melangkah Dari Stasi Hingga Paroki

Saya yakin dan percaya, banyak usaha yang telah dilakukan masing-masing pihak, baik Gereja, pemerintah, serta beberapa anak muda sendiri dengan membuat gerakan sesuai gaya mereka. Tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan media sosial untuk membangun gerakan kolektif, salah satunya seperti yang dilakukan teman-teman saya di Domkui Project yang menerjemahkan berbagai macam budaya lokal Indonesia ke dalam video yang dapat disaksikan melalui kanal youtube Domkui Production. Teman-teman Domkui tidak berhenti hanya pada satu video saja, tetapi masih ada beberapa proses kreatif yang akan diwujudkan mulai dari pembuatan film-film pendek hingga acara musik serta tarian. Proses kreatif ini secara tidak langsung membangun kesadaran kolektif anak muda dan mengembangkan talenta mereka sehingga budaya gotong-royong akan terimplementasi dengan sendirinya.

Kolaborasi seni OMK wujud gotong royong

Banyak nilai dari gotong-royong yang didapat ketika anak muda memberanikan diri untuk terlibat dalam proses kreatif ini, seperti menghargai perbedaan masing-masing individu, kemampuan interpersonal dan emosional yang semakin terkelola, serta tumbuh semangat untuk terus belajar dari kekurangan yang dimiliki. Anak muda juga tidak bisa bergerak sendiri, diperlukan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat untuk mendukung ide atau gagasan kreatif dalam melestarikan budaya Indonesia. Budaya yang baik ini dapat terus bertahan ketika semua lapisan masyarakat terlibat dan saling terhubung. Inilah keuntungan yang bisa kita syukuri di zaman yang serba digital ini. Semua orang dapat saling terhubung dan merasakan upaya anak muda dalam melestarikan budaya Indonesia.